Thursday, September 9, 1999

RAIBARU

RIVAL

Aku mengikat tali sepatuku. Kulihat ayahku sudah siap sejak tadi. Hari ini beliau akan mengantarku untuk mendaftar ke sebuah SLTPN di kota. Sebenarnya, ada sebuah SLTP di dekat rumahku. Namun menurut ayahku, aku tidak akan bisa berkembang jika tidak bersekolah di kota.



Benar juga. Seminggu kemudian, Aku melihat daftar siswa yang diterima berdasarkan NEM. NEM milikku yang menduduki 5 besar dari lima SD dari sebuah kecamatan kecil tidak ada apa-apanya. Aku berada di urutan ke-90 dari 100 siswa yang diterima. Aku menarik napas panjang. Sepertinya perjuangan akan menjadi sangat berat.

Aku dimasukkan ke kelas VIIA dari 5 kelas VII yang ada. Aku termasuk orang yang suka berkompetisi sehingga mencari anak laki-laki yang layak menjadi rivalku. Waktu terus berjalan. Dari beberapa kali ujian harian, ada satu anak yang nilainya selalu lebh tinggi dari aku. Yang jadi masalah adalah dia anak cewek. Aku paling tidak terima jika kalah dalam hal prestasi dari anak cewek. Sebut saja namanya Hime. Aku pun belajar lebih keras agar bisa meraih prestasi terbaik pada akhir semester pertama.

Akhirnya raport dibagikan. Aku berhasil meraihnya, peringkat ke-3. Aku benar-benar syok. Rekorku sebagai peringkat pertama selama 6 tahun telah terpatahkan oleh seorang cewek. Hime meraih peringkat pertama. Peringkat kedua juga diraih seorang cewek. Harga diriku terhempas jatuh namun untungnya tidak hancur berkeping-keping.

Teman yang duduk disebelahku membesarkan hatiku. Sebut saja namanya Tomo. Menurut dia, nilai tertinggi untuk seluruh kelas dipegang seorang cowok dari kelas VIIC. Aku lega mendengarnya karena masih ada wakil yang sama gendernya denganku. Tomo sendiri hanya menjadi juru kunci peringkat di urutan ke-20. Aku heran mengapa dia tetap bisa bergembira dengan hasil tersebut.

Baiklah, bukan itu masalahnya. Tomo menambahkan, Aku masih bisa mengejar dan merebut peringkat itu dari Hime pada semester depan. Semester kedua dimulai. Aku belajar lebih tekun. Tidak lupa diiringi do'a pada Yang Kuasa serta restu kedua orang tuaku. Hasilnya, pada akhir semester kedua aku berhasil meraih peringkat ke-3....lagi. Double shock. Tomo kembali membesarkan hatiku dengan kata-kata saktinya.

Semester baru dimulai. Aku ikut rombongan kelas VIIIA. Hime juga berada di kelas yang sama. Satu bulan berjalan. Hime pindah sekolah untuk suatu alasan. Dia pindah ke pulau Sumatra tepatnya di Propinsi Bengkulu. Aku kaget. Aku tidak mungkin bisa membalas kekalahanku jika dia "melarikan diri" keluar Kasela. Saat asaku mulai pudar, Tomo datang kembali dengan petuah-petuahnya. Meski kini dia tidak sekelas denganku, Tomo selalu ada disaat aku terpuruk.

Dia memintaku untuk mencari rival lain sebagai ganti Hime. Aku tidak bisa melakukannya karena hanya Hime yang tidak menganggap aku sebagai rivalnya. Diskriminasi itulah yang membuatku memutuskan dia sebagai rivalku. Akhirnya Tomo mengeluarkan Ultimate Advice miliknya. Teruslah tingkatkan prestasimu hingga puncak yang tertinggi. Jika kamu sekarang jatuh lalu terpuruk ke palung yang terdalam, suatu saat nanti saat kamu bertemu lagi dengannya, kamu tidak akan bisa menghadapkan wajahmu di hadapannya. Kata-kata itu selalu terngiang di dalam kepalaku.

Aku terus meningkatkan prestasiku dengan mengejar bayangan Hime. Empat tahun telah berlalu. Aku sudah lulus SLTA dengan prestasi yang cukup membanggakan. Aku memutuskan untuk kuliah di Pulau Jawa. Kedua orang tuaku juga mendukung pilihanku. Tomo memilih kuliah jurusan Guru olahraga karena itu adalah bidang dimana dia bisa meraih prestasi tertinggi. Bentuk fisiknya juga sangat mendukung. Satu-satunya cabang olah raga yang aku kuasai untuk mengalahkannya adalah catur.

Tanpa diduga, aku bertemu dengan Hime di Institut terkemuka di Kota Buaya. Dia juga diterima disana melalui ujian masuk PT. Aku gembira sekali meski kita berbeda jurusan. Dia masuk jurusan Informatika dan Aku jurusan Arsitektur. Akhirnya Waktu pembalasan akan tiba. Aku harus mengalahkan Indeks Prestasi miliknya.

Pada semester satu, IP miliknya 3,5 sedangkan aku cuma 2,9. Aku kalah lagi namun aku tidak putus asa. masih ada 7 semester menungggu. Tidak terasa 3,5 tahun berlalu. Hime akan diwisuda. Ternyata kekalahanku tidak terbalaskan. Akhhirnya aku memutuskan untuk mengakui kekalahanku darinya. Setelah acara wisuda selesai, Aku menemui Hime untuk mengucapkan selamat dan mengakui kekalahanku darinya. Cukuplah bagiku waktu 3,5 tahun ini untuk mengejarnya.

Hime tersenyum penuh arti saat mendengar proklamasi kekalahanku. Menurutnya, aku terlalu naif. IP jurusan informatika tidak bisa dibandingkan dengan IP jurusan Arsitektur. Dia juga bisa lulus lebih cepat karena banyak kuliah yang bisa diambil pada saat semester pendek. Sedangkan di jurusan Arsitektur tidak mengenal istilah SP.

Sebenarnya aku sudah mengerti akan hal ini. Hanya saja, aku ingin berterima kasih karena dengan mengejar bayangannya aku bisa seperti sekarang ini. Dia mengatakan alasan mengapa tidak menganggap aku sebagai rival. Sebenarnya nilai peringkat 3 besar pada dua semester kelas VII itu sama. Entah kenapa wali kelas memilihnya sebagai peringkat pertama. Aku hanya bengong. Benar juga. Aku tidak melihat jumlah nilai di raport miliknya. Akhirnya rival yang selalu ku kejar bayangannya selama ini, kini menjadi pendamping hidupku.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...