Perkenalkan,
namaku Goro. Aku lahir dalam keluarga yang cukup terpandang. Tentu saja, ayahku
adalah seorang pejabat tinggi. Kemana-mana kami selalu menggunakan roda 4.
Kadang menggunakan kendaraan bersayap. Kami tidak pernah menggunakan kendaraan
yang terapung di laut itu.
Aku hidup dalam
limpahan harta yang tidak terkira. Semua itu karena posisi ayahku yang begitu
strategis. Ayah selalu memperhatikan kebutuhanku, baik dari segi sandang, papan
maupun pangan. Pakaian selalu kami beli
di mall dengan harga minimal 5 lembar Soekarno-Hatta. Kami juga tidak pernah
makan selain di rumah makan ternama. Warung pinggiran tidak akan masuk dalam
lirikan kami. Mainan untukku juga bukan mainan yang bisa dibeli orang
sembarangan. Rumah, ya, rumah kami tidak begitu besar. Ukuran tanahnya hanya 1
hektar dan luas bangunan 60% dari luas tanah, sesuai peraturan RTH setempat.
Dalam hal
pendidikan, ayah juga memberikan usaha terbaiknya. Masuk di sekolah terfavorit
di kota terfavorit. Meskipun otakku pas-pasan keencerannya, dengan pengaruh
dari ayahku, aku selalu menjadi peringkat pertama di dalam kelas. Ayahku tentu
akan malu jika anak semata wayangnya hanya menduduki peringkat terakhir di
kelasnya. Itulah sebabnya, beliau menjalankan berbagai trik dan strategi untuk
mendongkrak nilai raportku.
Teman-temanku
tentu saja menyadari jika ada yang tidak beres dengan perangkingan di dalam
kelas. Mereka bukan orang bodoh dan polos yang percaya dengan mudah akan
sesuatu. Namun mereka semua hanya diam membisu menerima kenyataan pahit itu.
Mereka takut akan resiko yang akan hadir jika di cap sebagai provokator. Akhirnya
mereka hanya bisa jadi penonton yang pasrah.
Meskipun begitu,
aku selalu punya banyak teman. Aku tidak pernah sendiri. Aku tahu jika mereka
hanya mengincar traktiran atau buah tangan dariku. Tapi itu tidak masalah.
Ternyata uang bisa membeli segalanya. Aku bisa berkuasa dimanapun aku berada. Aku
bisa mendapatkan teman sebanyak yang aku mau.
Masa remaja aku
habiskan dengan berpacaran sepuasnya. Tidak sulit bagiku mendapatkan pacar. Dengan
modal motor besar yang keren, aku bisa menarik perempuan manapun. Setelah bosan
menghisap madunya, aku pun berganti dengan pacar yang baru. Tentu saja aku
tidak berniat menikahi mereka karena mereka hanyalah pengisi waktu luangku. Aku
lebih suka dikelilingi para gadis dari pada temanku yang laku-laki. Bagiku
bergaul dengan sesama jenis yang matre itu tidak terlalu menyenangkan.
Dalam tiga tahun
masa SMA, sudah tidak terhitung lagi perempuan yang aku rusak masa depannya.
Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur. Hal itu tidak
berlaku bagi pria sepertiku. Masa depanku masih bersinar dengan cerah meskipun aku
telah mencemari mereka semua.
Hal itu terus
berlanjut hingga tingkat Universitas. Masuk jalur mandiri bukan masalah bagi
ayahku. Waktu kuliah yang seharusnya 4 tahun itu bisa berlaku lain padaku. Aku mendapatkan
diskon sebesar setengah tahun. Tentu saja ada kekuatan ayahku dibalik itu. Aku
akhirnya berhasil meraih gelar sarjana dengan nilai terbaik meskipun dengan
bantuan orang bayaran ayahku.
Anak pejabat
sepertiku tentu saja gampang mencari calon istri. Semua relasi ayahku
menawarkan anaknya agar bisa dijadikan menantu. Kesempatan itu tentu tidak aku
sia-siakan. Aku pun memilih dengan seksama. Melalui berbagai seleksi yang
didasarkan pada fisik semata. Akhirnya aku menentukan pilihan pada gadis yang
sesuai dengan seleraku. Wajahnya cukup mirip dengan salah satu artis papan atas
nasional. Bagi orang lain, mungkin ini terlihat tidak adil. Bagaimana mungkin
lelaki bejat sepertiku bisa mendapatkan wanita yang masih suci. Tapi itu adalah
rahasia dari Tuhan.
Pernikahan kami
begitu meriah. Pesta diadakan selama 7 hari 6 malam. Ayah tidak ingin pesta
resepsi anaknya kalah meriah dengan pesta resepsi anak presiden. Soal biaya,
tidak perlu lagi dipertanyakan. Itu sudah pasti cukup untuk mendirikan beberapa
sekolah dari tingkat SD hingga tingkat SMA.
Saat itu, aku
masih belum bekerja. Beruntung sekali, dalam waktu dekat, akan ada seleksi
penerimaan PNS. Kebetulan sekali, titel kesarjanaanku sedang dicari. Jumlahnya
ada 3 orang.
Seperti biasa,
aku mempersiapkan diri dengan berleha-leha dan bersantai. Menghabiskan 20 hari
sebelum tes dengan berbulan madu bersama istriku. Masalah registrasi dan tetek
bengeknya sudah di urus oleh agen-agen ayahku. Aku tidak perlu khawatir akan
tes itu. Namaku dipastikan menjadi orang pertama yang lulus sebagai tenaga
teknis perkotaan. Dua posisi sisanya akan diperebutkan peserta lainnya.
Akhirnya hari
yang ditentukan telah datang. Karena sudah terjamin 100%, tak perlu lagi aku
datang menghadiri ujian CPNS itu. Dan benar saja. Dihari pengumuman, ada namaku
tertera di papan pengumuman. Dengan begini, hidupku bisa terus berlanjut tanpa
membebani ayahku yang akan segera pensiun.
Ternyata, apa
yang aku harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Ayahku menjadi tersangka
karena diduga terlibat berbagai penyelewengan dana dan kekuasaan. Tanpa pangkat
dan jabatan, ayahku bukan siapa-siapa lagi sehingga keadilan mulai berani
menerjang dirinya. Karena lilitan kasus itu, ayahku mengalami stroke dan
meninggal. Ibuku jadi sakit-sakitan dan tidak bisa bergerak sama sekali. Istri
yang aku harapkan kesetiaannya tidak lagi bersedia mendampingiku. Aku merasa
sebatang kara di dunia ini. Semua orang yang dulu mengaku sahabat juga pergi
menjauh.
Tiba-tiba semua
menjadi gelap. Aku perlahan-lahan membuka mataku. Ah ternyata itu semua hanya
mimpi. Aku juga tidak mengerti mengapa mimpi itu selalu datang setiap kali aku
tertidur. Aku bangkit dari tumpukan kardus tempat aku tidur. Aku memperhatikan
tubuhku yang kotor. Pakaianku compang-camping tidak karuan. Rambutku yang
panjang dan gimbal menutupi bahuku. Tidak terasa lagi gatal dan bau dari rambut
itu. Sepertinya aku sudah terbiasa dengan aku yang sekarang. Aku bangkit dan
beranjak dari teras toko mainan itu. Aku harus mulai berkeliling untuk meminta
sebungkus nasi agar aku bisa bertahan hidup....
No comments:
Post a Comment