Akhir-akhir ini, terjadi sebuah kasus yang bombastis
sehingga mengguncang dunia anak-anak di Indonesia. Apakah itu kalimat yang
hiperbolis? Bisa jadi. Seorang anak yang baru berumur 13 tahun (angka 13
bukanlah angka kebetulan) sudah bebas berkeliaran dengan mengendarai mobil. Akibat
kasus yang super bombastis itu, polisi menjadi semakin sering melakukan razia
kendaraan bermotor. Sasaran utama tentu saja para pelajar yang pasti masih
dibawah umur.
Mengapa demikian? Kerana syarat untuk mendapatkan SIM
(surat ijin mendriver) adalah berusia minimal 17 tahun. Pelajar SD berusia
antara 7 sampai 12 tahun, pelajar SLTP berusia antara 13 sampai 15 tahun. Dan pelajar
SLTA berusia antara 16 sampai 18 tahun. Dari hasil razia tersebut, terdapat
banyak pelajar yang terjaring. Jika terjaring hanya karena membawa motor,
penulis masih sedikit maklum. Namun ternyata ada cukup banyak juga pelajar SLTP
yang terjaring kerana membawa mobil. Sepertinya, orang tuanya terlalu kaya
sehingga tidak mampu membelikan anaknya motor. Namun bisa jadi, itu karena gaya
hidup anaknya yang ingin memamerkan mobil orang tuanya pada teman-temannya yang
hanya memiliki sepeda butut untuk menuntut ilmu dengan sepenuh hati.
Penulis yang baru bisa mengakses (full access) kendaraan
roda dua saat berusia 23 tahun hanya bisa mengelus dada saat menyaksikan
anak-anak SD yang sudah men-driver motor roda dua termodifikasi. Mengapa penulis
menulis termodifikasi? Kerana motor itu sudah di remake (dibongkar dan dipasang
kembali) sehingga kaki anak-anak yang masih ingusan dan bau kencur itu bisa
menyangga motor itu saat motor itu berhenti. Anggap saja itu mootor mini. Namun,
motor tetaplah motor. Meski mini, dengan emosi anak kecil dan kecepatan yang
full power, mini motor itu cukup membahayakan apalagi jika anak-anak itu
berkendara tanpa menggunakan helm. Mengapa mereka tidak menggunakan helm? Kerana
mereka ingin menampakkan wajah mereka yang riang gembira ria saat berkendara. Jika
mereka memakai helm, mereka tidak akan terkenal (dikenali) dan eksistensi
mereka bisa punah di kampungnya. Jadi bisa disimpulkan, anak-anak jenis itu
berkendara bukan karena kebutuhan primer melainkan kerana kebutuhan (after)
tersier, yaitu ingin eksistensinya diakui dan bisa jadi dia caper (cari
perhatian) kerana orang tuanya terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Untuk pelajar yang menggunakan motor, penulis masih menaruh
sedikit rasa maklum. Mengapa demikian? Penulis pernah tinggal di daerah Indrasari,
Sekumpul. Wilayah ini tidak dijangkau oleh angkutan kota sehingga akan sulit
bagi penulis untuk menghadiri pembagian ilmu di SLTPN 1 Martapura yang ada di Jalan
Ahmad Yani. Kerana kondisi ekonomi yang masih belum kondusif, penulis hanya
bisa bisa menggunakan sepeda (tenaga manusia) untuk menuju lokasi tersebut. Pada
masa sekarang ini, motor adalah pilihan para pelajar sebagai sarana untuk
mencapai tujuannya. Mengapa demikian? Meskipun rumah mereka ada pada jalur
angkot, jika jumlah uang untuk angkot lebih besar dari jumlah uang untuk BBM
motor, mereka tentu akan memilih menggunakan kendaraan bermotor. Nah, disini
masalahnya. Kalau tidak salah, polisi memberikan ijin tertentu pada pelajar
yang menggunakan motor. Pelajar jenis ini diperbolehkan menggunakan motor
kerana dia tidak akan mencapai tujuannya jika dia menggunakan sepeda biasa. Sepertinya,
jarak rumah dan sekolahnya mencapai 25 km. Dengan kata lain, anak-anak dibawah
umur diperbolehkan menggunakan motor hanya untuk keperluan sekolah. Jadi, motor
hanya untuk pergi-pulang sekolah. Namun dengan perkecualian seperti itu, ada
oknum-oknum pelajar yang menggunakan motor diluar jam sekolah. Akibatnya,
terjadi aksi kebut-kebutan. Mengapa? Kerana mereka ingin eksistensinya diakui
sebagai yang tercepat dan terhebat. Dengan keinginan seperti itu, tentu saja
motor yang pas-pasan tidak akan bisa ikut serta. Hal ini akan berakhir pada
saling pamer dan tentunya status kepemilikan motor bukan lagi berdasarkan
kebutuhan primer, melainkan kebutuhan (after) tersier.
Jika pelajar bermotor saja bisa termasuk dalam golongan
yang berlebihan, maka pelajar dengan mobil bisa dikatakan sebagai golongan yang
super duper surplus kredibilitas ekonomi. Seharusnya, mereka bisa berlaku
sederhana. Tak perlu menampakkan diri jika mereka itu orang kaya dan punya
puluhan mobil. So what gitu loh? Itu kan punya ortu mereka. Dan yang jelas, itu
bukan murni milik ortu mereka. Kalau bisa menggunakan sepeda biasa, mengapa
harus menggunakan motor? Jika bisa dengan motor, mengapa harus menggunakan
mobil? Jika ada angkot, itu adalah pilihan yang lebih baik. Hal itu bisa
mengurangi kemacetan di jalan dan mengurangi emisi gas berbahaya yang bisa membahayakan
bumi pertiwi. Ibu pertiwi ini sudah tua renta. Janganlah engkau paksa dia
menghirup udara yang kotor karena kendaraan dan rokok serta pembakaran hutan
yang membabi buta. Jika engkau ingin ibu pertiwi ini berumur panjang, maka
rawatlah dia. Namun jika dia lebih memilih untuk pergi, maka relakanlah dia. Jangan
paksa dia untuk hidup lebih lama dalam penderitaan.
Okey, sepertinya terjadi kontroversi pemikiran sehingga
fokus penulisan sudah bergeser pada hal-hal yang tidak direncanakan. Baiklah,
penulis akhiri saja tulisan super singkat ini. Terima kasih sudah membaca
tulisan yang amat singkat ini.
Mechadot, 15 September 2013, 7.26 pm. This writing is written
when the overtime is not going well according the schedule……..
image
image
No comments:
Post a Comment