Banjarmasin
Terapkan Kawasan Bebas Rokok---Bahaya Pihak Ketiga
Penerapan kawasan
bebas rokok bisa dikatakan terlambat. Namun lebih baik terlambat daripada tidak
sama sekali. Meskipun hanya berupa teguran (sanksi pada 2015), para perokok
pasif (mungkin) akan bisa bernapas dengan lebih lega di ruang publik. Saat ini
masih ditemukan perokok di kawasan kesehatan seperti rumah sakit. Bukan hanya
pengunjung, bahkan staf/petugas kesehatan juga merokok di lingkungan RS. Tidak
ada yang berani menegur meskipun tulisan ”bantu menegur perokok” terpampang
dengan jelas. Jika begini kasusnya, sang pasien bisa semakin parah atau bisa
menambah jenis penyakitnya saat dirawat di RS. Ruang publik harus bebas asap
rokok, termasuk pasar yang sirkulasi udaranya tidak terlalu bagus. Jika ada
pengunjung yang merokok, hal itu pasti akan membuat kualitas udara memburuk dan
membahayakan jiwa yang lain.
Ada informasi
bahwa bahaya perokok pasif 3x lipat perokok aktif, sehingga ada yang mengambil
kesimpulan sesat: ”lebih baik merokok saja karena resikonya lebih kecil”. Temuan
baru ”third hand smoke” akan semakin membuka mata kita jika rokok memiliki
bahaya yang tidak sementara. Ruangan yang pernah dipakai merokok akan sangat
berbahaya bagi bayi dan anak-anak karena residu racun dari rokok masih ada
meskipun tidak ada lagi yang merokok saat itu.
Kalau bisa
peraturan semacam itu dicabut saja. Caranya? Kebijakan iklan rokok dari
pemerintah dirasakan tidak terlalu efektif. Disinilah peran para pemuka agama
dan para sepuh kampung di banua yang agamis ini. Mereka pasti lebih mengetahui
arti dari ayat ”janganlah membunuh dirimu sendiri”. Jadi, para pemuka agama
harus bisa menjadi contoh dan panutan serta tidak bosan mengingatkan betapa
berbahayanya rokok. Jika metode ini berhasil, tidak akan ada lagi orang banua
yang merokok dan peraturan kawasan bebas rokok tidak akan bermanfaat lagi.
02 juli 2014
No comments:
Post a Comment