POLY TRICK
Masalah politik saat ini benar
benar hot. Setelah pemilihan caleg berakhir, maka wacana yang bergulir adalah
pemilihan presiden. Tokoh-tokoh yang awalnya optimis menjadi calon presiden,
kini mulai melihat kenyataan kerana suara dari partai mereka tidak cukup untuk
mengusung mereka sebagai presiden.
Sebelum membahas kebingungan yang
melanda parpol dalam mencara kawan koalisi, penulis akan berbalik sejenak pada
waktu dimana pemilihan caleg akan digelar. Pada saat itu, yang digadang-gadang
adalah katakan NO atau “TIDAK” pada politik uang. Pada kenyataannya, bukan
hanya politik uang yang berbicara melainkan juga politik sembako. Dalam satu
bungkus sembako ada beras, minyak goreng, gula, mie instant dan tentu saja nama
caleg yang membagikannya. Selain sembako, ada juga caleg yang membagikan sarung
pada warganya agar kelak warga yang menerima sarung itu memilihnya. Dari
beberapa sumber, ada satu wilayah yang terkenal kerana kemakmuran para calegnya
hingga satu keluarga bisa mendapatkan 10 bungkus sembako dari 10 caleg yang
bertarung dalam pemilihan caleg. Selain bersaing dengan caleg partai lain, para
caleg juga harus bersaing dengan caleg dalam satu partai untuk mengambil hati
rakyat. Jika mereka berhasil mendapatkan hati rakyat, maka suara rakyat itu
akan menjadi milik mereka.
Ternyata slogan no money politic
itu sulit direalisasikan dalam realita/kenyataan. Hal itu tentu membawa imbas
pada caleg itu sendiri. Mereka akan memerlukan dana yang pastinya tidak kecil
untuk mendanai kampanye mereka, baik kampanye normal maupun kampanye tidak
normal/ terselubung seperti money politic. Dana yang mereka dapatkan ternyata
bukan dana abadi mereka, melainkan dana yang didapat dari berhutang dan
pinjaman. Hal ini mulai terlihat setelah pemilihan caleg berakhir. Beberapa
(mungkin hamper semua) caleg mulai mengalami gangguan mental saat mengetahui
suara yang mereka harapkan tidak mencapai target. Mereka mulai melakukan
tindakan-tindakan yang tercela seperti meminta kembali uang politik yang sudah
mereka bagikan. Ada juga yang meminta agar kompor gas yang telah dibagi
dikembalikan. Ada yang memblokir jalan utama suatu wilayah kerana anaknya tidak
lolos dalam pemilihan. Ada juga yang mendatangi ahli jiwa untuk mendamaikan
jiwanya yang sedang galau.
Melihat kasus pasca pemilihan
yang semacam itu, ada baiknya jika pada masa mendatang, para caleg menjalani
tes kejiwaan sebelum mencalonkan dirinya sebagai caleg. Hmm tunggu, apa sudah
ada tes semacam itu? Jika sudah ada, maka penulislah yang ketinggalan berita.
Dengan adanya tes kejiwaan tersebut, maka mentalitas para caleg bisa diketahui.
Berapa besarnya kemungkinan dia menjadi gila jika tidak terpilih dapat
diketahui. Berapa besarnya kemungkinan dia berbuat gila jika tidak terpilih
juga bisa diketahui. Selain caleg, keluarganya juga perlu mendapatkan tes
kejiwaan. Siapa sangka jika caleg tidak terpilih bisa mengendalikan dirinya
namun keluarganya yang telah mencarikan dana malah berbuat onar dan anarkis.
Dana yang akan digunakan untuk
kampanye juga harus diperiksa. Jika dana yang digunakan itu bukan berasal dari
kantong pribadi, sebaiknya caleg tersebut dibatalkan kerana hanya akan menambah
penderitaan pasca pemilihan jika mereka tidak terpilih. Kita harus bersyukur
kerana mereka, para caleg itu, berjuang untuk kita semua. Mereka sangat
mencintai kita dan berusaha mati-matian agar bisa membawa aspirasi kita ke
permukaan. Mereka rela hutang kesana-kemari demi aspirasi kita. Mereka bahkan
bisa menjadi gila jika tidak terpilih menjadi caleg. Semua itu mereka lakukan
demi kita.
Harapan masyarakat dari caleg yang terpilih
tentu saja tidak sedikit. Bagi para caleg yang terpilih hendaknya masih ingat
dengan janji-janji yang mereka ucapkan. Jangan berpura-pura lupa kerana itu
akan menjadikan mereka benar-benar mengalami lupa ingatan. Mereka harus
berupaya sebaik mungkin, semaksimal mungkin untuk membawa aspirasi masyarakat
agar didengar dan bisa direalisasikan di dunia nyata. Mereka juga harus
menyadari jika beban yang ada dipundak mereka tidak lagi ringan. Mereka
mengemban amanat dari rakyat. Dosa yang akan mereka tanggung jika berkhianat
bukan lagi dosa yang mudah dimaafkan. Mereka harus meminta maaf pada seluruh
masyarakat sebelum mendapat pengampunan dari Tuhan.
Yang paling penting, para caleg tidak boleh
lagi memikirkan keuntungan pribadi mereka sebagai anggota dewan. Kebanyakan
yang sudah terpilih akan lupa pada janjinya dan hanya memikirkan cara
mengembalikan modal yang telah mereka gunakan untuk kampanye. Setelah modal
kembali, mereka bukannya memikirkan rakyat, mereka malah memperkaya diri
sendiri dan kroni serta dinastinya. Itulah yang paling tidak diharapkan. Anggota dewan yang
terhormat juga harus bisa menjaga wibawa, tidak boleh bolos saat rapat anggota
diadakan. Jika menghadiri rapat juga tidak boleh tertidur apalagi bermain
dengan smartphone yang semakin hari semakin canggih. Mereka harus disipilin dan
menghargai waktu. Masa jabatan mereka yang hanya lima tahun itu harus bisa
dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mampu membawa perubahan yang bisa
dirasakan masyarakat. Jika semua itu bisa terlaksana, maka kebaikan yang telah
mereka lakukan itu akan terus mnegalir hingga akhir masa. Kebaikan itu akan
terus dikenang hingga anak cucunya.
Kembali ke topik semula,
kebingungan parpol mencari koalisi untuk mengusung calon presidennya. Beberapa
tokoh menjadi korban atau bisa disebut sebagai tumbal untuk mendongkrak
perolehan suara partai. Tragis sekali tragedy ini. Tokoh yang dikorbankan ini
umumnya dijanjikan untuk menjadi calon presiden namun kerana perolehan suara
partai tidak mencukupi, mereka harus mundur sebagai calon presiden dan harus
puas sebagai calon wakil presiden. Sebagai calon presiden, mereka masih harus
bersaing dan tentu saja, calon presidenlah yang akan memilih sendiri wakilnya.
Calon presiden mendatang haruslah orang
yang bersih, saat ini maupun pada masa lalu. Dan yang lebih penting, bisa menjaga
track recordnya dari awal hingga akhir. Capres yang memiliki modal kejujuran
dan juga integritas, yaitu perkataannya sesuai dengan perbuatannya. Capres yang
bisa merakyat dan mampu blusukan tanpa kawalan media. Itulah karakter capres
yang dicari. Capres yang bisa tegas dengan politik luar negeri, tidak mudah
mengikuti arus, memiliki pendirian sesuai Pancasila dan UUD 1945. Tegas juga
dalam penegakan hukum kerana ketegasan
itu diperlukan untuk menjamin keamanan
dan ketentraman Negara. Kasus yang sedang marak adalah korupsi, baik
perseorangan maupun secara berjamaah. Capres yang diharapkan adalah yang bisa
memberantas korupsi hingga ke akarnya.
Capres yang tidak mengandalkan popularitas
kerana hal itu hanya sementera dan angin-anginan. Capres juga bukanlah “boneka”
yang tidak memiliki pendirian sendiri. Capres yang diharapkan tentu yang bisa
menjadi sosok teladan bagi masyarakat, bukan sosok yang dimusuhi dan dijauhi.
Jika sudah menjadi teladan, maka rakyat akan lebih mudah dibimbing. Apa semua
kriteria itu terlalu banyak? Mungkin juga. Hal itu harus dipatok tinggi karena
memimpin Negara pasti lebih berat dari memimpin sebuah desa. Jika berpegang
pada pola” tidak ada manusia yang sempurna” itu hanyalah sebuah excuse kolot dan tidak berujung. Hari
ini harus lebih baik dari kemaren dan besok harus lebih baik dari hari ini. Itu
adalah rumus yang harus diterapkan untuk memilih pemimpin.
Mechadot, Tuesday,
22 April 2014. 12.02 AM
No comments:
Post a Comment