Aku berjalan menjauhi kerumunan, menjauh menuju sebuah
pohon kamboja yang cukup rindang. Perlahan, aku duduk sambil bersandar di pohon
itu. Aku merogoh ke dalam saku bajuku. Satu kotak rokok ada di sana. Aku
mengambil dan membukanya. Ada beberapa batang yang tersisa. Sebuah pemantik sudah
siap di tangan kananku. Ketika pemantik itu menyala, aku memandangi rokok yang
kupegang dengan seksama. Tiba-tiba kenanganku tentang rokok muncul dan
tergambar dengan jelas.
Aku mengenal rokok sejak kelas 5 Sekolah Dasar. Ayahku
adalah perokok berat. Asap rokok sudah menjadi sahabatku sejak kecil. Saat
kelas 5 itulah aku mulai belajar menghisap rokok. Sebagian teman sekelas juga
perokok. Kata mereka, lelaki baru bisa dikatakan sebagai lelaki sejati jika dia
merokok. Aku percaya saja dengan mereka. Apalagi, saat melihat iklan rokok di
televisi. Para perokok itu terlihat begitu keren dan elegan. Niatku menjadi
perokok sejati semakin bulat. Ayahku yang sudah tua juga masih segar bugar.
Sepertinya peringatan di bungkus rokok itu hanya omong kosong belaka.
Saat berada di Sekolah Menengah Tingkat Pertama, dosis
rokokku semakin bertambah. Aku harus menyisihkan uang jajanku untuk membeli
rokok. Meskipun rokok itu tidak mengenyangkan, aku terus saja menghisapnya. Ada
kepuasan tersendiri saat melakukannya.
Masa sekolah menengah atas sedikit sulit kerana sudah ada
peraturan daerah agar tidak merokok di kawasan pendidikan. Aku harus
sembunyi-sembunyi saat melakukannya. Toh, ada juga guru yang merokok. Bahkan
ada guru olah raga dan kesehatan jasmani yang merokok, meskipun tidak secara
terang-terangan. Guru kesehatan saja tidak bisa menjaga jasmaninya dengan baik,
bagaimana beliau akan menjaga belahan jiwanya kelak?
Saat kuliah, aku harus bekerja keras. Orang tua sudah tidak
bisa lagi memberikan biaya. Selain untuk kuliah, aku harus membiayai hobi
merokokku yang semakin berat. Bisa dibilang, aku bagaikan kereta apai yang
terus berjalan kerana tidak ada jeda yang berarti antara rokok yang satu dengan
rokok yang lainnya. Aku tidak lagi peduli di mana aku merokok. Entah di
angkutan umum atau lingkungan rumah sakit. Mungkin mereka berpikir jika gelar
sarjana yang kusandang hanya hiasan kerana akademis sejati tidak akan mau
memasukkan racun ke dalam tubuhnya secara berkesinambungan.
Fatwa pemuka agama yang menyatakan bahwasanya rokok itu
haram juga aku abaikan. Aku masih berpegang teguh pada pendirian bahwa rokok
itu hanya makruh. Bungkus rokok yang dihiasi gambar-gambar mengerikan, seram
dan menjijikkan tidak membuatku gentar. Aku tidak mundur sedikitpun. Aku hanya
mencari rokok dengan bungkus yang tidak terlalu mengerikan.
Setelah bekerja selama dua tahun, akhirnya aku menikah.
Istriku sebenarnya tidak suka dengan hobiku. Namun karena kegantenganku hampir
menandingi Justin Bieber, hatinya luluh lantak juga, pada akhirnya. Lagi pula,
dia berasal dari keluarga perokok sehingga bisa memberikan toleransi padaku.
Setelah satu tahun pernikahan, aku dikaruniai seorang anak yang imut dan lucu.
Namanya adalah Novaroze.
Aku sangat menyayangi puteriku. Aku selalu menggendongnya
setelah pulang kerja. Dia adalah pemberi semangat baru untuk hari-hariku.
Kebahagiaanku tiba-tiba hancur berkeping-keping saat puteriku didiagnosa
menderita penyakit paru-paru. Akhirnya Tuhan memanggil puteriku sebelum genap
berusia satu tahun. Aku menangis sejadi-jadinya. Ternyata Tuhan menghukum
diriku melalui puteriku. Dokter menjelaskan jika puteriku menghisap residu
rokok yang ada di pakaian, jaket dan lingkungan rumah. Meskipun tidak ada yang
merokok, residu rokok akan selalu bersemayam dan menumpuk di tempat-tempat yang
biasa digunakan untuk merokok.
Lamunanku dikejutkan suara dering ponsel di saku bajuku.
Itu dari dokter yang pernah aku kunjungi beberapa waktu yang lalu. Dia
memberikan kabar yang membuatku tidak bisa berkata-kata lagi. Dia berkata
bahwasanya aku tidak akan lagi bisa memiliki keturunan. Tidak terasa air mata
mengalir dari sudut mataku. Penyesalan itu memang selalu datang terlambat.
No comments:
Post a Comment