SEANDAINYA
@KU SEORANG GURU
Pada
jaman dahulu, profesi seorang guru adalah profesi yang langka dan keramat
kerana guru memiliki arti yang digugu dan di tiru. Tidak semua orang bisa
menjadi guru. Pada jaman serba canggih seperti saat ini, guru telah memiliki
mesin produksinya sendiri sehingga banyak calon guru berserakan dimana-mana.
Asal masuk ke sekolah pendidikan guru, seseorang dianggap mampu dan siap
menjadi guru.
Namun
pada kenyataannya, tidak semua guru hasil produksi itu siap menjadi guru.
Ternyata ada individu-individu yang tidak memiliki dasar pendidikan guru, bisa
menjadi sosok guru yang lebih baik karena keikhlasannya sehingga para murid
menyukai mereka. Di sisi lain, individu yang disukai murid-murid ini malah
menjadi ”musuh” bagi guru-guru senior yang sudah memiliki predikat PNS. Mereka
yang telah menyandang predikat PNS ini lebih pantas dikatakan sebagai oknum.
Mereka mengajar dengan seadanya. Memberikan perintah pada murid untuk
mengerjakan LKS, lalu mereka pergi. Begitu mudahkah pekerjaan guru bagi mereka?
Ada
juga oknum guru yang suka melakukan kekerasan pada muridnya. Sebenarnya,
hukuman perlu diberikan dengan kadar tertentu. Pada jaman dahulu, guru yang
memukul jari muridnya karena kuku yang panjang, adalah hal yang biasa. Dengan
semakin majunya jaman, jangan harap ada hukuman seperti itu lagi. Para guru
saja sudah tidak berani memberikan hukuman berupa hormat pada bendera. Mengapa?
Karena pada keesokan harinya, orang tua murid akan datang untuk memprotes
sekolah dengan alasan pelanggaran HAM dan kawan-kawannya. Bahkan tidak jarang,
pihak yang berwajib ikut serta pada kasus seperti itu. Apakah ini merupakan
sisi positif dari kemajuan jaman? Atau malah sisi negatif karena mendidik murid
untuk manja karena tidak pernah mengalami apa yang disebut sebagai ”hukuman”.
Guru
sering mangalami dilema pada saat pemberian nilai. Mungkin hal ini tidak
dialami bagi yang bertugas di sekolah RSBI (yang tinggal sejarah) karena para
muridnya dipastikan mayoritas pandai-pandai. Jadi, memberikan nilai yang bagus
bukanlah masalah. Lain halnya di sekolah pada umumnya. Muridnya merupakan
kesatuan bhineka tunggal ika. Mereka memiliki rentang kecerdasan dari titik
terendah hingga titik tertinggi. Hal ini menimbulkan dilema saat penilaian.
Misalnya nilai anak yang terendah adalah 20 point. Sedangkan nilai yang
tertinggi untuk mata pelajaran yang sama adalah 90 point. Apa yang terjadi?
Point 20 itu akan menjadi 50 point di dalam raport sedangkan point 90 akan
tetap menjadi 90 karena tidak mungkin ada point 120 di dalam raport.
Secara
logika, pemilik nilai yang tinggilah yang mendapat penghargaan. Namun pada
realitanya, pemilik nilai yang lebih rendahlah yang mendapat bonus nilai
sebesar 30 point. Orang tua murid yang bersangkutan juga tidak mau tau pada
situasi anaknya. Mereka hanya ingin menerima raport yang nilainya memuaskan.
Mereka tidak mau tau dengan nilai murni yang diperoleh anaknya.
Secara
sepihak, mereka meminta sang guru untuk memperhatikan anaknya saat pelajaran.
Hal ini tentu saja memberikan beban tambahan pada sang guru karena jika dia
lebih memperhatikan anak tersebut, maka kegiatan belajar mengajar di kelas itu
akan terhambat. Apakah sang guru harus mengorbankan kemajuan belajar semua
murid di kelasnya demi memperhatikan seorang anak yang (memang) perlu perhatian
khusus saat belajar?
Menjadi
guru bukanlah perkara yang bisa diremahkan. Hal itu perlu keikhlasan yang
mendalam. Ada beberapa kasus yang menjatuhkan nama guru. Adanya oknum guru yang
memperjual belikan nilai pada ijasah. Ada juga konspirasi yang sudah menjadi
rahasia umum, yaitu membantu para murid dalam menjawab ujian nasional. Hal ini
dilakukan karena jika banyak murid yang tidak lulus dari sekolah mereka, maka
nama sekolah mereka akan tercemar. Jadi, terjadilah konspirasi besar-besaran
saat ujian nasional. Wallohu’alam.
Pada
jaman BB yang canggih seperti sekarang ini, nilai yang tercetak dengan tinta
emas di atas kertas ijasah bukalah jaminan. Pemilik nilai itu akan di uji di
dunia nyata yang tidak seindah negeri dongeng. Jadi, mendongkrak nilai siswa,
baik pada saat ujian nasional maupun pada saat ujian semester biasa, hanya akan
menjerumuskan siswa karena mereka mengemban nilai yang sebetulnya belum mampu
mereka emban. Para orang tua diharapkan bisa mengerti kemampuan anaknya. Mereka
tidak boleh memaksakan anaknya untuk mendapat nilai yang memuaskan. Jadi ingat
sebuah humor dari stand up comedy. Masa masuk TK biayanya lebih mahal dari
masuk SD biasa? Kasihan sekali anak-anak yang masih TK sudah mengikuti kursus
yang beraneka ragam. Mereka yang seharusnya masih lucu-lucunya saat bermain,
harus berjibaku dengan keringat untuk belajar dan mempelajari pelajaran yang
belum saatnya mereka pelajari.(Zet.@, 17 Januari 2013)
Image di unduh dari ernisoktaviani
Image di unduh dari ernisoktaviani
No comments:
Post a Comment