Perlu Mempertegas
Ketegasan Hukum
Wacana yang
sedang bergulir dengan hangat adalah penutupan lokalisasi. Wacana ini tentu
saja menuai pro dan kontra di masyarakat. Jika masyarakat mencerna wacana ini
dengan hati yang jernih, maka aksi kontra tidak akan terjadi. Yang kontra
merasa keberatan karena mereka mencari nafkah dari ”tempias” lokalisasi. Jika
ditutup, maka tidak akan ada ”tempias” lagi dan mereka akan kehilangan mata
pencaharian.
Yang kontra
seharusnya bisa berempati pada penghuni lokalisasi. Bagaimana jika seandainya
ibu, istri, saudara perempuan atau bahkan putri mereka yang menghuni lokalisasi
tersebut. Apakah mereka masih tetap kontra? Kemampuan menempatkan diri pada
posisi orang lain sangat diperlukan. Jadi, yang melakukan penutupan
(pemerintah) juga harus bisa berempati pada pihak konta. Dengan begitu,
pemerintah bisa mencarikan solusi yang tepat untuk pihak yang merasa dirugikan.
Kita perlu ingat
sebuah filosofi yang mengatakan ”kerana nila setitik, rusak susu sebelanga”.
Pihak kontra merasa rugi kerana mereka akan kehilangan sumber pendapatan.
Pendapatan dari ”sana” tidak bisa dibilang halal karena mereka ikut andil dalam
melestarikan prostitusi. Dan hasil yang tidak halal tidak akan berkah meskipun
diarahkan pada jalan yang benar. Misalnya mereka beribadah dengan pakaian yang
sopan dengan harga Rp. 50.000. Dari harga itu, 10% atau bahkan 1% saja dari uang
yang tidak halal, maka ke-valid-an ibadah mereka akan dipertanyakan. Nah, perlu
adanya saling mengingatkan untuk menjadi masyarakat yang madani.
Penegakan hukum
juga harus dipertegas. Yang memiliki hukum saja masih kacau, apalagi yang
hukumnya hanya macan kertas. Disinilah peran pemerintah sebagai pengayom
masyarakat. Penutupan lokalisasi perlu dukungan dari seluruh elemen masyarakat
sehingga wacana ini menjadi realita yang happy
ending.
No comments:
Post a Comment