TOPENG KEPALSUAN
IMITASI
Masyarakat bangsa
ini ternyata menyukai hal-hal yang indah dan menyenangkan meskipun itu palsu
belaka. Salah satu contohnya adalah nilai raport. Para orang tua murid lebih
menyukai nilai hitam dari pada nilai merah [istilah nilai dibawah 5] yang
menghiasi raport anak mereka. Nilai berlekuk
indah [8,9] lebih diharapkan muncul dari pada nilai berlekuk seronok [5,6].
Padahal, sebagian dari mereka mengetahui jika nilai di dalam raport itu telah
”diangkat” dari keterpurukan yang dalam. Nilai dalam raport itu telah diolah
sedemikian rupa dalam kawah candradimuka agar tidak mengecewakan berbagai pihak
yang terlibat. Nilai telah direkayasa dengan berbagai rumus, bahkan mungkin ada
yang menggunakan rumus 90% tugas harian + 10% nilai ujian untuk menghasilkan
nilai raport. Perlu pembenahan sistem pendidikan secara menyeluruh agar segala
macam upaya rekayasa semacam itu tidak lagi diperlukan. Sistem memerlukan
capaian yang menggembirakan padahal cara kerjanya tidak optimal.
Kasihan sekali anak-anak
itu. Mereka bergemira ria dan berbangga hati dengan nilai hasil rekayasa itu.
Iba juga perlu diberikan pada guru-guru yang menanggung beban moral dan jiwa
kerana mendongkrak nilai muridnya agar bisa masuk standar KKM. Jika nilai murni
yang ditampilkan, mereka akan dicap sebagai guru yang tidak becus dalam
mengajar. Nama Sekolah juga dipertaruhkan jika mayoritas muridnya memperoleh
nilai yang buruk. Mau tidak mau, nilai asli begitu dirahasiakan agar tidak
mempermalukan berbagai pihak yang terkait. Kejujuran itu begitu penting hingga
digembar-gemborkan selalu. Namun mengapa nilai yang asli tidak pernah ditampilkan?
Apakah slogan ”kebenaran harus disampaikan meskipun itu pahit” hanya menjadi
slogan di atas spanduk?
Rekayasa nilai
ini begitu berpengaruh pada anak. Di sisi lain, mereka bisa lebih percaya diri
dengan kemampuan mereka. Namun efek buruknya, bisa saja mereka menjadi
meremehkan mata pelajaran tertentu kerana mereka merasa nilai mereka sudah
tinggi padahal nilai asli mereka tidak setinggi itu, bahkan mungkin tidak
mencapai standar. Hanya murid yang tahu tingkat kemampuannya yang tidak
bergembira dengan nilai raportnya.
Kemampuan mereka
akan benar-benar diuji dalam ujian masuk universitas kerana universitas ternama
tidak akan sembarangan dalam menerima calon mahasiswanya. Meskipun begitu, ada
universitas yang bisa dikatakan sebagai universitas yang mata duitan. Nilai tes
hanya menjadi formalitas belaka dan menjadi urutan terbuncit. Yang terpenting
bagi mereka adalah isi kantong dari orang tua calon mahasiswa. Jika ada dana
abadi minimal Rp. 100.000.000,- [Seratus juta rupiah], maka calon itu bisa
masuk jurusan apapun yang dia inginkan. Gelar kesarjanaan juga bisa dikeluarkan
kapanpun dia inginkan. Artinya, para oknum ini lebih suka menggunakan ijazah
yang aspal, asli tapi palsu. Asli ijasahnya namun palsu nilainya. Jadi, mereka
lebih suka mencari pekerjaan dengan ijasah imitasi itu. Jika mereka berhasil
mendapat pekerjaan dengan ijasah palsu itu, maka kejamnya dunia kerja akan
mereka rasakan. Ada juga yang perlu ijasah hanya sekadar formalitas. Contoh,
kompetensinya sudah setingkat stara satu namun kerana ijasah aslinya hanya
setingkat SMA, upah yang dia terima dengan bekerja setara strata satu hanya
setingkat SMA. Dia jadi diremehkan kerana hanya lulusan SMA meskipun kompetensi
yang dia miliki setingkat strata satu. Ironis sekali.
Untuk para guru
yang benar-benar menjadi ”guru” mungkin anda melihat hal ini dari sudut pandang
lain dan memiliki pemikiran sendiri mengapa hal ini bisa terjadi. Jadi, jika
sudut pandang yang disampaikan ini memerlukan koreksi, silahkan disampaikan.
Semua koreksi akan diterima dengan senang hati. Ada guru yang curhat nih.
Contoh lain adalah
kalangan metropolis wannabe yang selalu membeli tas yang terlihat bermerk dan
berharga puluhan juta meskipun secara pribadi mereka mengetahui harga ”hermes”
obralan itu tidak lebih dari Rp. 100.000,-. Mengapa mereka tidak bisa jujur
dengan harga tas mereka? Jika memang hanya mampu membeli dengan harga murah,
mengapa harus membeli tas yang terlihat berharga mahal hanya demi gengsi
belaka?
Ada juga yang
membeli jam tangan seharga Rp. 50.000,- namun mirip dengan jam tangan yang
berharga 5 Milyar. Dia membuat pencitraan seolah-olah harga jam tangannya
setara dengan proyek pembangunan gedung serbaguna berkapasitas 1.000 orang. Apa
coba maksudnya? Mengapa harus membeli jam yang terlihat mahal dan tak
terjangkau? Fungsinya sama saja, menunjukkan waktu. Kecuali ada fungsi khusus
seperti bisa mengembalikan penggunanya ke masa lalu. Mungkin jam semacam itu
akan diburu.
Ada juga yang
membeli hape/ponsel dengan predikat super-copy, king-copy maupun ultra-copy.
Tentu saja hal ini demi keamanan gengsi mereka meskipun dibatasi oleh isi
dompet. Mereka harus memiliki jenis ponsel yang terlihat bergengsi agar bisa
bergaul dengan kalangan elit. Itulah sebabnya mereka harus rela berkorban untuk
membeli barang ”bajakan” kerana terbatasnya isi dompet. Mereka lebih memilih
ponsel imitasi yang tidak berkualitas dari pada ponsel asli dengan harga yang
sama. Semua itu demi gengsi dan harga diri yang begitu tinggi.
Sebagian oknum
Generasi muda juga lebih senang hidup dalam dunia khayalan yang palsu. Dunia
khayalan itu begitu indah sehingga membuat mereka enggan meninggalkan narkoba,
narkotika dan sejenisnya. Dunia nyata yang menurut mereka begitu kejam harus
ditinggalkan dengan cara ”fly” ke dunia fantasi yang palsu dan imitasi. Ritual
”fly” ini memberikan mereka rasa bebas yang membebaskan mereka dari kenyataan
pahit yang sedang mereka hadapi, meskipun hanya sementara. Kebebasan ini akan
terus berlanjut saat mereka ”berpindah” dunia, dari ”dunia atas” ke ”dunia
bawah”.
Ada juga
kepalsuan kerana menggunakan hak tinggi. Tinggi tubuh dan elegansi itu menjadi
begitu imitasi saat mereka melepaskan high heels yang mereka gunakan. Mereka
tahu jika sepatu semacam itu membawa dampak buruk bagi kesehatan namun demi
penampilan yang prima, hal penting semcam itu diacuhkan.
Tindakan yang
bisa dikatakan pemalsuan adalah operasi plastik. Orang-orang semacam ini tidak
bersyukur dengan bentuk muka/tubuhnya. Jadi, mereka menambahkan sejumlah
plastik di ujung hidungnya agar terlihat lebih mancung. Ada juga yang terobsesi
sehingga melakukan beberapa kali operasi agar terlihat seperti superman atau
boneka barbie.
Jenis kepalsuan yang
amat sangat berbahaya adalah kesaksian palsu. Kepalsuan ini begitu berbahaya
hingga bisa mengancam nyawa korbannya. Kepalsuan semcam ini harus dihindari
namun kerana keadaan dan situasi tertentu, kepalsuan semcam ini terlahir di
dunia dan mengacaukan tatanan kebenaran yang memang sudah mulai goyah.
Jenis kepalsuan
yang terakhir dan sangat berbahaya adalah kepalsuan kitab suci. Ada beberapa oknum
atau organisasi yang melakukan pemalsuan isi kitab suci. Semua isinya diubah
agar sesuai dengan selera mereka. Isi kitab suci disesuaikan dengan
perkembangan zaman sehingga kemurnian kitab suci berakhir dengan tragis. Kitab suci
yang murni tidak akan pernah berubah dari awal munculnya hingga akhir dunia. Kitab
murni semacam inilah yang bisa menjadikan manusia kembali ke jalan yang benar. Suatu
ajaran tidak bisa dilihat dari perilaku penganutnya, melainkan dengan menelaah
isi kitab sucinya. Penganut suatu ajaran bisa saja melakukan pencitraan, baik
itu buruk/baik. Pencutraan itu bisa saja tidak sesuai dengan isi kitab suci
yang sebenarnya.
Sepertinya ada
kepalsuan lain yang belum terungkap di sini. Berhubung waktu yang tersedia
menipis, maka tulisan ini akan diakhiri. Kepalsuan, sehebat apapun, seindah
apapun, tetaplah sebuah kepalsuan, sesuatu yang tidak asli alias imitasi.
Sumber Gambar02
Zet.@ 24 Juni
2014, Satu jam sebelum Time Out on office
No comments:
Post a Comment