Sunday, June 6, 1999

Test Bhs Indo

UJIAN BAHASA INDONESIA

Aku tiba di sekolah tepat 30 menit sebelum bel masuk berbunyi. Biasanya, aku tiba tepat 5 menit sebelum bel. Hari ini adalah hari yang spesial bagiku karena aku dapat giliran piket. Aku memulai tugasku secepatnya. Lima anak yang mendapat giliran piket telah mendapat bagian tugas masing-masing. Teman-temanku mulai hadir satu demi satu. Setelah 15 menit, tugasku akhirnya selesai. Teman piketku lainnya yang akan meneruskan. 15 menit sisanya aku gunakan untuk mempelajari materi Bahasa Indonesia. Pasalnya, ada ujian pada 2 jam pelajaran terakhir.



Sebenarnya, itu bukanlah masalah besar bagiku yang selalu mendapat rata-rata 80 pada ujian B. Indonesia. Ada pemicu yang lebih besar. Sepuluh tahun yang lalu....maaf, terlalu jauh flashbacknya. Sejujurnya, satu hari yang lalu, aku meminta tambahan uang saku pada orang tuaku. Mereka menolaknya karena prestasiku juga tidak ada peningkatan. Sejak kelas satu hingga kelas tiga SMA, peringkatku selalu bertengger di juru kunci 10 besar.

Ultimatum ayah membuatku gemetar karena senangnya. Dia berkata, jika aku bisa mendapat nilai sempurna pada ujian B. Indonesia maka uang jajanku akan dilipat gandakan sebanyak 100%. Ada kalimat tambahan yang menyentuh lubuk hatiku. Belum ada sejarahnya ada anak yang meraih nilai sempurna pada ujian B. Indonesia meski seumur hidup tinggal di Indonesia. Benar juga! Belum pernah terpikir oleh otakku yang pintar ini.

Itulah sumber pemicunya. Aku mulai berpikir, dengan belajar seadanya saja aku bisa meraih nilai 80 dari skala 100. Dengan belajar 2x lipat lebih keras, aku pasti mampu meraih nilai 160 yang sudah pasti lebih dari sempurna.

Bel masuk akhirnya berbunyi. Tapi bagiku, itu bukan suara bel melainkan suara raungan panci yang disiksa pemukulnya. Tiga jam pelajaran pertama adalah fisika. Pelajaran yang paling aku benci. Bukan karena rumusnya yang rumit melainkan karena gurunya. Beliau sibuk berbicara sendiri. Kami semua dianggap tidak ada. Beliau berada di alamnya sendiri, alam dimana Albert Einstein berada. Waktu terasa hampa saat pelajaran ini.

Aku meneruskan aksiku, menjejalkan materi pelajaran ke dalam otakku yang kapasitasnya baru 2% aku gunakan. Aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Beberapa temanku juga melakukan hal yang sama. Bedanya, mereka menjejalkan materi ke atas selembar kertas. Dengan kata lain, mereka sedang membuat resume yang akan digunakan sebagai contekan. Harga diriku cukup tinggi untuk tidak melakukannya. Serendah apapun hasilnya, aku terima dengan lapang dada. Aku tidak pernah mencontek meski selalu meraih score dibawah angka 50 untuk ujian fisika. Itulah kebanggaan yang bisa aku banggakan. Apalah artinya nilai 100 jika didapat dengan hasil mencontek.

Akhirnya, ujian yang kunantikan dimulai. Ujiannya berupa 100 soal pilihan ganda. Aku mulai mengerjakan soal dengan penuh kewaspadaan. Meski Cuma pilihan ganda, soal-soal itu mampu membuat keringatku mengucur dengan derasnya. Beberapa temanku memanfaatkan kelengahan sang guru. Mereka membuka contekan yang telah mereka ciptakan dengan susah payah. Wajah mereka tampak berseri-seri saat melakukan tindakan ilegal tersebut. Tidak sedikitpun tersirat rasa bersalah. Mereka telah menyatu dengan aliran sesat.

Waktu pengerjaan ujian berakhir. Aku menarik napas panjang. Anak yang duduk paling dibelakang mengumpulkan lembar jawaban. Guru kami akan memeriksa lembar jawaban dengan segera. 20 lembar tidak akan memakan waktu yang lama. Aku sudah tidak sabar ingin mengetahui hasilnya. Aku yakin dengan jawabanku.

Jika uang sakuku bertambah, aku bisa membeli sebuah tiket konser dengan uangku sendiri. Minggu depan, ada konser dari grup band Tetra-Fang di lapangan Murjani. Grup inilah menyanyikan sebagian besar OST untuk serial kamen rider Kiva. Jika skenario terburuk terjadi, aku harus menggadaikan beberapa hartaku. Aku tidak boleh melewatkan konser yang langka ini.

Akhirnya lembar jawaban yang telah diberi nilai aku terima. Aku terpana melihat angka 81 bertengger di sana. Usahaku tidak sesuai harapan. Lenyaplah sudah harapanku mendapatkan uang saku tambahan. Ternyata kenyataan itu pahit. Meskipun aku tinggal di Indonesia sejak lahir, meski kedua orang tuaku adalah guru Bahasa Indonesia dan meski aku berbahasa Indonesia setiap hari, aku tidak bisa mendapat nilai penuh pada mata pelajaran ini. Sungguh tragis, ironis dan hiperbolis.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...