COBAAN SEBELUM UJIAN
Tepat pada pukul 05.00 pagi, alarm ku berbunyi. Kuuga... Agito... Ryuuki... Faiz... Blade... Hibiki... Kabuto... Den-O... Kiva...Final Kamen Ride... DECADE... bunyi tone itu cukup untuk membangunkan seluruh keluargaku. Aku bergegas mandi sedangkan ibuku menyiapkan nasi goreng, makanan wajib setiap pagi. Setelah berpakaian, aku menyantap hadangan dengan lahap. Aku perlu amunisi yang cukup sebelum bertempur. Namun jika kebanyakan bisa berbahaya.
Aku berpamitan pada kedua orang tuaku dan meminta do’a restunya. Aku pun berjalan ke depan gang menuju jalan raya. Jaraknya sekitar 200 meter. Aku akan menunggu angkot yang akan mengantarku sampai di sekolah. Biasanya memakan waktu sekitar 20 menit untuk sampai karena angkot sering berhenti untuk mencari penumpang. Jika tanpa berhenti tentu saja akan lebih cepat. Masih ada sekitar 30 menit sebelum sekolah dimulai.
Ayahku juga sudah berangkat kerja. Beliau adalah teknisi komputer di suatu perusahaan komputer yang bernama Smart Brain. Jalur kami berbeda arah sehingga kami tidak berangkat bersama. Namun jika aku minta, beliau siap mengantarku. Beberapa sepeda motor dan truk lewat di depanku. Truk itu mengeluarkan asap tebal dari knalpotnya. Udara yang segar berubah menjadi buruk. Lima menit sudah berlalu. Aku mulai merasa aneh. Tidak terlihat angkutan kota yang biasanya hilir mudik tak terhingga. Perasaanku mulai kacau. Bisa telat kalau begini caranya.
Tiba-tiba, aozora, langit biru yang cerah berubah menjadi mendung. Awan kumolonimbus bergulung-gulung dan menurunkan air dengan derasnya. Aku terpaksa mencari tempat untuk berteduh. Aku berteduh di sebuah teras rumah makan yang belum beroperasi. Rumah makan ini milik sebuah keluarga bangsawan ningrat yang bernama Discabil Family. Rencananya, rumah makan ini akan menjadi rumah makan terbesar di kota Martapura.
Waktu terus berjalan tanpa bisa dihentikan. Aku mengambil ponsel dari dalam tas. Aku mencoba menghubungi ayahku. Mungkin saja beliau punya waktu untuk mengantarku. Celakanya, pulsaku tidak cukup untuk melakukan panggilan. Ternyata ponsel legendarisku tidak berguna jika tidak memiliki pulsa. Aku menyebutnya legendaris karena ponsel itu merupakan tipe ponsel yang digunakan Takumi untuk berubah wujud menjadi Kamen Rider 555.
Kembali ke situasi semula. Hujan mulai reda hingga akhirnya berhenti total. Namun waktuku semakin menipis. Tidak akan sempat jika naik angkot meskipun dengan kecepatan penuh. Aku hanya pasrah dan berdo’a semoga ada keajaiban yang terjadi. Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namaku. Aku pun melihat ke arah datangnya suara itu. Dia adalah sahabatku sejak kecil meski sekarang kami beda sekolah.
Setelah lulus SLTP, kami pisah sekolah. Dia memilih sekolah kejuruan dan aku sekolah umum. Kedatangannya bagaikan malaikat penolong bagiku. Dia menawarkan tumpangan sambil menyodorkan sebuah helm padaku. Dia sudah memperkirakan hal ini. Menurutnya, para sopir angkot sedang berunjuk rasa karena terjadi kerancuan pada rencana trayek yang baru. Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
Dia lalu memacu motor yang dinamainya HardBoilder, nama motor milik Cyclone Joker. Kami pun melesat dengan kecepatan yang tentunya diperbolehkan oleh peraturan lalu lintas. Kami bukanlah makhluk yang memiliki nyawa double untuk dipertaruhkan di atas jalan raya. Hanya ada satu masalah. Sahabatku ini belum punya SIM karena belum cukup umur.
Akhirnya, kami tiba di depan gang yang menuju sekolahku. Sahabatku itu minta maaf karena tidak bisa mengantarku sampai ke gerbang sekolah. Dia Cuma punya waktu tiga menit untuk sampai ke sekolahnya. Aku mengerti. Bagiku, ini sudah lebih dari cukup. Aku melepas kepergiannya dengan lambaian tangan. Setelah sosoknya menjauh, aku langsung melesat. Aku cuma punya waktu 2,5 menit sebelum gerbang sekolahku ditutup. Jarak yang perlu ditempuh 150 meter.
Aku berlari dengan penuh perhitungan. Jika tidak, aku bisa terperosok ke dalam lubang yang berserakan di tengah jalan. Ternyata bukan aku sendiri yang terlambat. Puluhan anak muncul dari gang yang ada di depanku. Terjadilah adu lari antara kami. Aku tidak mempedulikan perutku yang mulai terasa sakit. Syukurlah, kami semua berhasil memasuki finish saat injury time. Jika terlambat, kemungkinan terburuk, kami akan diminta untuk pulang. Jika penjaga gerbang sedang berbaik hati, kami hanya diberi sedikit hukuman, misalnya berlari 20 keliling lapangan basket.
Mataku langsung melihat ke arah ruang guru. Guru matematika yang akan memberi ujian muncul. Beliau memiliki aturan yang ketat. Beliau tidak akan memberi ijin masuk pada anak yang masuk ke kelas setelah beliau ada di dalam kelas. Alasan ke kamar kecil tidak akan mempan. Aturan ini cuma berlaku pada beliau. Jadi, anak yang terlambat itu masih bisa mengikuti pelajaran berikutnya.
Aku segera melesat berlari menuju kelasku yang ada di lantai dua, sudut sekolah. Aku tidak ingin perjuangan yang tadi kuhadapi menjadi sia-sia. Aku mengambil jalan pintas atau istilah kerennya Short Cut. Akhirnya aku tiba dengan selamat di kelas. Teman-temanku heran melihatku yang bisanya datang paling awal malah datang terlambat saat ujian harian yang penting. Guru itu masuk tidak lama setelah aku meletakkan tasku di atas meja.
Tanpa banyak basa-basi, beliau membagikan soal. Waktunya Cuma satu 90 menit untuk 10 soal. Dengan irama napas yang masih kacau, aku mulai mengerjakan soal. Sakit di perut yang kurasakan semakin bertambah. Makanan yang tadi aku makan belum tercerna dengan baik karena darah yang seharusnya bekerja di perut aku gunakan untuk sprint. Sepertinya sprint di pagi hari bukanlah ide yang tepat.
Keringat mulai membasahi pakaianku. Aku berusaha memfokuskan konsentrasiku. Keringat mengucur semakin deras. Ditemani situasi yang tidak menguntungkan itu, aku berusaha menjawab soal sebaik mungkin. Tidak terasa waktu berlalu dengan cepatnya. Aku menyelesaikan jawabanku bersamaan dengan berakhirnya waktu ujian. Aku tidak lagi sempat memeriksa jawaban yang telah aku tuliskan. Anehnya, perutku sudah tidak sakit lagi. Keringatku juga sudah berhenti mengalir. Yang tersisa hanya seragamku yang basah kuyup bermandikan keringat.
Beruntung, hari ini adalah Hari Jum’at sehingga aku tidak perlu memakai seragam sampai pukul 02.00 siang. Ternyata, ada kabar yang menggembirakan. Akan ada rapat guru sehingga semua murid bisa pulang lebih awal. Hatikupun berbunga-bunga. Aku segera mengemasi peralatan sekolahku.
Hari berikutnya, saat pelajaran matematika, hasil ujian harian diumumkan. Aku terkejut saat melihat nilai yang terpatri di lembar jawabanku. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Apakah ini mimpi? Setelah kucubit teman disebelahku, dia berteriak histeris. Ternyata ini bukanlah mimpi. Kore wa yume ja nee.
Aku mendapat nilai sempurna,100. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah hidupku. Aku mendapat nilai 100 pada ujian matematika. Sepertinya sprint yang kulakukan kemarin membuat darah mengalir melalui sela-sela otak yang tidak pernah kupakai sebelumnya. Aku sendiri merasa tidak dalam kesadaran penuh saat mengerjakannya karena kondisi fisik yang kacau. Terbayar sudah segala perjuangan yang kulalui kemarin dengan nilai ini. Ini adalah nilai legendaris karena aku tidak pernah lagi meraihnya pada ujian-ujian berikutnya.
No comments:
Post a Comment