Sunday, September 15, 2013

Risalah Pelajar

Sang Pelajar, Perlu Motor Atau Mobil?


Akhir-akhir ini, terjadi sebuah kasus yang bombastis sehingga mengguncang dunia anak-anak di Indonesia. Apakah itu kalimat yang hiperbolis? Bisa jadi. Seorang anak yang baru berumur 13 tahun (angka 13 bukanlah angka kebetulan) sudah bebas berkeliaran dengan mengendarai mobil. Akibat kasus yang super bombastis itu, polisi menjadi semakin sering melakukan razia kendaraan bermotor. Sasaran utama tentu saja para pelajar yang pasti masih dibawah umur.
Mengapa demikian? Kerana syarat untuk mendapatkan SIM (surat ijin mendriver) adalah berusia minimal 17 tahun. Pelajar SD berusia antara 7 sampai 12 tahun, pelajar SLTP berusia antara 13 sampai 15 tahun. Dan pelajar SLTA berusia antara 16 sampai 18 tahun. Dari hasil razia tersebut, terdapat banyak pelajar yang terjaring. Jika terjaring hanya karena membawa motor, penulis masih sedikit maklum. Namun ternyata ada cukup banyak juga pelajar SLTP yang terjaring kerana membawa mobil. Sepertinya, orang tuanya terlalu kaya sehingga tidak mampu membelikan anaknya motor. Namun bisa jadi, itu karena gaya hidup anaknya yang ingin memamerkan mobil orang tuanya pada teman-temannya yang hanya memiliki sepeda butut untuk menuntut ilmu dengan sepenuh hati.
Penulis yang baru bisa mengakses (full access) kendaraan roda dua saat berusia 23 tahun hanya bisa mengelus dada saat menyaksikan anak-anak SD yang sudah men-driver motor roda dua termodifikasi. Mengapa penulis menulis termodifikasi? Kerana motor itu sudah di remake (dibongkar dan dipasang kembali) sehingga kaki anak-anak yang masih ingusan dan bau kencur itu bisa menyangga motor itu saat motor itu berhenti. Anggap saja itu mootor mini. Namun, motor tetaplah motor. Meski mini, dengan emosi anak kecil dan kecepatan yang full power, mini motor itu cukup membahayakan apalagi jika anak-anak itu berkendara tanpa menggunakan helm. Mengapa mereka tidak menggunakan helm? Kerana mereka ingin menampakkan wajah mereka yang riang gembira ria saat berkendara. Jika mereka memakai helm, mereka tidak akan terkenal (dikenali) dan eksistensi mereka bisa punah di kampungnya. Jadi bisa disimpulkan, anak-anak jenis itu berkendara bukan karena kebutuhan primer melainkan kerana kebutuhan (after) tersier, yaitu ingin eksistensinya diakui dan bisa jadi dia caper (cari perhatian) kerana orang tuanya terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Untuk pelajar yang menggunakan motor, penulis masih menaruh sedikit rasa maklum. Mengapa demikian? Penulis pernah tinggal di daerah Indrasari, Sekumpul. Wilayah ini tidak dijangkau oleh angkutan kota sehingga akan sulit bagi penulis untuk menghadiri pembagian ilmu di SLTPN 1 Martapura yang ada di Jalan Ahmad Yani. Kerana kondisi ekonomi yang masih belum kondusif, penulis hanya bisa bisa menggunakan sepeda (tenaga manusia) untuk menuju lokasi tersebut. Pada masa sekarang ini, motor adalah pilihan para pelajar sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Mengapa demikian? Meskipun rumah mereka ada pada jalur angkot, jika jumlah uang untuk angkot lebih besar dari jumlah uang untuk BBM motor, mereka tentu akan memilih menggunakan kendaraan bermotor. Nah, disini masalahnya. Kalau tidak salah, polisi memberikan ijin tertentu pada pelajar yang menggunakan motor. Pelajar jenis ini diperbolehkan menggunakan motor kerana dia tidak akan mencapai tujuannya jika dia menggunakan sepeda biasa. Sepertinya, jarak rumah dan sekolahnya mencapai 25 km. Dengan kata lain, anak-anak dibawah umur diperbolehkan menggunakan motor hanya untuk keperluan sekolah. Jadi, motor hanya untuk pergi-pulang sekolah. Namun dengan perkecualian seperti itu, ada oknum-oknum pelajar yang menggunakan motor diluar jam sekolah. Akibatnya, terjadi aksi kebut-kebutan. Mengapa? Kerana mereka ingin eksistensinya diakui sebagai yang tercepat dan terhebat. Dengan keinginan seperti itu, tentu saja motor yang pas-pasan tidak akan bisa ikut serta. Hal ini akan berakhir pada saling pamer dan tentunya status kepemilikan motor bukan lagi berdasarkan kebutuhan primer, melainkan kebutuhan (after) tersier.
Jika pelajar bermotor saja bisa termasuk dalam golongan yang berlebihan, maka pelajar dengan mobil bisa dikatakan sebagai golongan yang super duper surplus kredibilitas ekonomi. Seharusnya, mereka bisa berlaku sederhana. Tak perlu menampakkan diri jika mereka itu orang kaya dan punya puluhan mobil. So what gitu loh? Itu kan punya ortu mereka. Dan yang jelas, itu bukan murni milik ortu mereka. Kalau bisa menggunakan sepeda biasa, mengapa harus menggunakan motor? Jika bisa dengan motor, mengapa harus menggunakan mobil? Jika ada angkot, itu adalah pilihan yang lebih baik. Hal itu bisa mengurangi kemacetan di jalan dan mengurangi emisi gas berbahaya yang bisa membahayakan bumi pertiwi. Ibu pertiwi ini sudah tua renta. Janganlah engkau paksa dia menghirup udara yang kotor karena kendaraan dan rokok serta pembakaran hutan yang membabi buta. Jika engkau ingin ibu pertiwi ini berumur panjang, maka rawatlah dia. Namun jika dia lebih memilih untuk pergi, maka relakanlah dia. Jangan paksa dia untuk hidup lebih lama dalam penderitaan.
Okey, sepertinya terjadi kontroversi pemikiran sehingga fokus penulisan sudah bergeser pada hal-hal yang tidak direncanakan. Baiklah, penulis akhiri saja tulisan super singkat ini. Terima kasih sudah membaca tulisan yang amat singkat ini.
Mechadot, 15 September 2013, 7.26 pm. This writing is written when the overtime is not going well according the schedule……..


image

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...