FENOMENA
SAMPAH
BBM
17 Nopember 2012
Akhir-akhir ini, isu sampah yang sempat terkubur dengan tenang kembali mencuat ke permukaan, terutama sampah atau limbah yang mengotori Sungai A. Yani yang berada di sisi Jalan A. Yani Banjarmasin. Menurut saudara wiki, sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaiannya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam tersebut berlangsung (wikipedia). Saat ini sampah sudah menjadi masalah yang cukup kompleks dan mendesak untuk segera diatasi. Masalah sampah tidak bisa disepelekan begitu saja. Di manapun kita berada, kita bisa menemukan sampah dengan mudah.
Saat masih berada di bangku sekolah, kita diajarkan para guru untuk
menempatkan sampah pada tempatnya. Hal itu bisa dilakukan karena setiap kelas
memiliki bak sampah masing-masing. Namun pada kenyataannya, di lingkungan
sekitar, banyak oknum masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Bagi masyarakat
yang tinggal di tepi sungai, membuang sampah ke sungai adalah ritual rutin
harian yang tidak bisa di tinggalkan. Sampah itu bisa berasal dari rumah tangga
maupun dari pelaku sendiri (limbah metabolisme). Ritual buang sampah ini
didukung oleh tidak adanya sarana prasarana khusus sampah di lingkungan
tersebut. Warga yang tinggal di dalam kompleks perumahan biasanya sudah
memiliki manajemen sampah yang baik. Ada petugas khusus yang bertugas
mengumpulkan sampah warga yang biasanya di parkir di depan rumah.
Bagi masyarakat yang berada di perkotaan, yang tidak punya manajemen
sampah, para oknum biasanya membuang sampah di tepi jalan seenaknya (misalnya
Jalan Trikora dan Jalan Tol Gubernur Soebarjo, terutama dekat simpang empat Gambut-Aluh-Aluh).
Keadaan sampah di Jalan A. Yani tidak
separah keduanya. Situasi Jalan A. Yani cukup ramai sehingga membuang sampah ukuran
besar di tepinya akan cukup beresiko. Namun jalan ini juga tidak selamat dari
perilaku penggunanya. Oknum warga yang berkendara juga memiliki ritual buang
sampah seenaknya. Mulai dari yang bermotor butut hingga yang bermobil mewah.
Bahkan ada sampah yang meluncur dari balik kaca mobil yang bertuliskan
“rombongan haji”. Entah beliau baru akan naik haji, sudah turun dari haji, atau
hanya pengantarnya, ritual itu sangat tidak keren. Meskipun limbah yang dibuang
itu hanya berupa sehelai tisu, bungkus snack/permen, atau gelas plastik
minuman, tindakan yang sepele dan sederhana itu bisa menggambarkan kejiwaan
pelakunya. Jika hal yang kecil saja disepelekan, maka bagaimana untuk hal yang lebih
besar?
Kembali pada topik awal, kondisi Jalan A. Yani tidak parah karena ada
sungai di kedua sisinya. Sungai inilah yang menjadi korban oknum manusia yang
tidak manusiawi. Kondisi Sungai A. Yani sudah sangat memprihatinkan. Airnya
tidak lagi jenih dan eksotis namun berwarna hitam pekat seperti kolam
pengolahan limbah. Sampah yang dibuang oleh oknum masyarakat sekitar memang
sepele atau tidak terlalu nampak seperti bungkus kacang, permen, dan gorengan.
Hal ini sejalan dengan kata pepatah, “sedikit demi sedikit lama lama menjadi
bukit”. Akumulasi sampah yang dianggap sepele itu menjadikan air sungai bagai
lumpur pekat. Bayangkan jika semua oknum masyarakat melempar sampahnya ke
sungai, sungai bisa tertimbun dan mati selamanya.
Kondisi sampah di sepanjang koridor jalan dan sungai inilah yang membuat tidak
nyaman dipandang mata dan tidak sedap dihirup hidung. Ukuran sampah bervariasi,
mulai dari yang sepele, lalu bungkus plastik yang sebesar bola kaki sampai
karung sebesar karung beras. Hal ini tentu membuat warga sekitar jengkel karena
para pelaku biasanya bukan berasal dari wilayah sekitar. Pelaku buang sampah
itu pasti tidak ingin habitatnya kotor karena limbah pribadinya. Karena itulah
dia membuang limbahnya di habitat lain. Di pinggir Jalan Garuda (Basirih
Selatan) misalnya, ada plakat bertuliskan doa yang intinya berbunyi ” aku rela
miskin 7 turunan bila membuang sampah di sini”. Plakat ini menggambarkan
perasaan warga yang kesal, marah, sedih dan sebal melihat habitat mereka
dinodai oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Apakah ritual membuang sampah seperti itu sudah menjadi budaya? Sungguh
ironis jika hal itu benar. Masyarakat seharusnya bisa mengelola sampahnya
sendiri. Jika tidak dimungkinkan, maka harus diusahakan membuang limbahnya di
tempat sampah (yang disediakan), bukan di tempat-tempat yang ada sampahnya. Pemerintah
harus mengakomodir sarana ini karena masih jarang ditemukan bak sampah umum di
tempat umum. Masyarakat juga bisa ikut berpartisipasi dalam mengamankan
wilayahnya dari oknum warga yang mencermari lingkungan. Saat ini ada istilah
bank sampah. Konsep ini cukup menarik untuk mengatasi masalah sampah. Orang
yang menabung sampahnya ke bank ini akan memperoleh sejumlah uang. Hal ini
tentu saja lebih menguntungkan dari pada membuang sampah di tempat pembuangan
liar yang tentu saja ilegal.
Pada akhirnya, yang menjadi tuntunan utama adalah agama. Agama mengajarkan jika kebersihan adalah sebagian dari iman. Membuang sampah sembarangan berarti kehilangan sebagian dari iman. Jika membuangnya tanpa rasa malu, maka dua bagian iman akan pupus karena malu juga sebagian dari iman. Dengan momentum Tahun Baru Hijriah 1434, mari kita berhijrah dari semua kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang benar. Biasakanlah hal yang benar dan bukan membenarkan kebiasaan. Dan sekali lagi perlu diingat bahwa menempatkan sampah tidak pada tempatnya adalah tindakan yang tidak keren dan tidak gaul.
No comments:
Post a Comment