AKSI
DEMO CRAZY
Sedikit review tentang aksi dan reaksi dari aktivitas yang disebut sebagai DEMO.
Demo, demo dan demo. Ini bukan demo dalam bahasa Jepang yang artinya akan
tetapi tapi demo dalam bahasa Indonesia. Sekarang ini aksi demo menjadi salah
satu pilihan manjur bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Namun aksi
ini sering diwarnai, dibarengi, dibumbui, dan disemangati dengan aksi
perusakan. Mereka adalah para oknum (monster) yang menyamar dalam barisan prajurit
dan akhirnya akan muncul sebagai destroyer jika saatnya sudah tiba (yaitu saat
genderang perang telah ditabuh). Seperti di film-film laga itu lho. Saat dua
orang sudah mengambil kuda-kuda untuk berlaga, maka saat orang ketiga bersin,
dua orang itu langsung bergerak saling menyerang. Jadi, bersinnya orang ketiga
adalah Dornya pada lomba lari. Kembali ke judul. Mengapa pada acara demo harus
ada acara bertukar batu dan amunisi? Sepertinya hal itu sudah menjadi trend
yang (tidak akan) sulit ditinggalkan... atau trend yang tidak akan (sulit)
ditinggalkan.
Kalau mau demo ya demo aja. Jangan make acara penghancuran bangunan dan
properti gitu donk. Meski yang rusak cuman pagernya doank. Itu pake duit
mbuatnya. Tau gak duit siapa? Ya duit dia-dia (para demonstran) juga. Mana ada
pejabat yang mau bangun rumah dinas dengan duit di kantongnya? Jadi, kalau para
monster itu ngerusakin lingkungan, yang rugi ya mereka (dan keluarga mereka
yang sudah membayar) juga. Masa duit hasil pajak cuman buat memperbaiki
properti dan bangunan? Duit itu harusnya buat bangun bangunan yang baru dan
kuat, bukan buat bangunan baru yang mudah rusak sehingga tiap taon perlu dana
perbaikan. Wasting money aja kalo gitu ceritanya. Kalo yang di wasting bukan
duit rakyat sih gak apa-apa.
Kembali ke topik demo crazy dan imbasnya. Siapa yang sedihnya tidak
ternilai? Salah satunya (yang pasti) adalah yang ngerancang bangunan itu, atau
dengan kata lain, Arsiteknya. Bahasa gaulnya itu tukang rancang bangun. Bisa
jadi bangunan itu adalah masterpiecenya atau bahkan satu-satunya rancangan dia
yang terbangun (dibangun). Jadi, bisa dibayangkan bagaimana hancur dan luluhnya
hati sang tukang saat dia melihat bangunan semata wayangnya menjadi korban
perang yang awalnya memperjuangkan kebenaran. T.T. Apa perlu sang tukang
merancang bangunan yang bisa melindungi dirinya sendiri? Bangunan dengan
kecerdasan buatan yang bisa mendeteksi adanya bahaya dari aura manusia yang ada
di sekitanya? Jadi, jika ada indikasi pertempuran dengan senjata api, bangunan
ini akan mengaktifkan dinding anti pelurunya. Jika terdeteksi rudal atau
semacamnya, bangunan ini bisa mengaktifkan perisai dengan pola rumah lebah,
seperti dome gitulah. Seperti di film-film canggih itu lho. Dome ini juga
berfungsi membatasi bencana. Jadi, jika ada tabung gas yang meledak dari dalam
bangunan, ledakannya tidak akan menyebar ke tetangga. Hmm, aneh, apa ini fungsi
yang menguntungkan atau merugikan. ???
Sebenarnya wondering juga. Apa sih yang bisa dihasilkan dengan demo secara
santun? Yang di demo juga (malah) nyantai kalau yang demo itu tenang bagai air
danau yang beku, hanya diiringi suara jangkrik yang sumbang. Tapi kalau demonya
seru, pake acara tawuran segala, dijamin yang di demo (ya jelas) pada ngacir
dan kabur. Jika demo belum menemukan hasil, ya cari cara lain agar bisa menarik
perhatian yang di demo tapi jangan dengan demo aliran brutal alias brutalisme.
Aliran ini sepertinya pelampiasan stress karena banyaknya tugas kuliah (bagi
suku A), pelampiasan tenaga yang berlimpah karena tidak ada pekerjaan (bagi
suku B) dan pelampiasan karena tidak puas pada apa yang sudah diterima (bagi
suku C). Penyaluran ABC ini tentunya memberikan beban pada negara, terutama
masyarakat yang ada di sekitarnya. Demo bisa melumpuhkan pergerakan transportasi.
Kalau banyak yang ngumpul di jalan, kendaraan kan gak bisa gerak. Macet kan
jadinya? Tapi macet kali ini bukan gara-gara Sikomo yang lewat. Kadang bukan
karena halangan di jalan yang bikin kendaraan tidak bergerak melainkan karena
drivernya yang demo. Yang prihatin ya yang sering menggunakan jasa mereka. Prihatin
kerana harus berjalan 1000 langkah sehari (sebenarnya itu bisa menyehatkan lho)
J.
Demo yang menyakiti diri sendiri juga sebaiknya jangan dilakukan. Itu hanya
menambah derita jasmani/fisik pada rohani yang (sudah) menderita. Demo macam
ini malah menimbulkan pertanyaan. Apakah ini salah satu bentuk depresi pelaku
yang diwujudkan dengan penyiksaan pada dirinya sendiri? Demo juga gak boleh
maksa. Masa yang gak mau demo kok di paksa demo? Demo itu perlu keikhlasan hati
agar yang di demo itu bisa ikhlas mendengar dan bisa memecahkan masalah yang
sedang berkecamuk itu. (Zet.@, 14 Dec 2012)
No comments:
Post a Comment