Friday, January 1, 1999

PENEBUSAN DOSA


PENEBUSAN DOSA


Aku berjalan di sebuah lorong yang remang-remang. Dua orang sipir menemaniku menuju sebuah gerbang. Perlahan, gerbang yang pernah kulewati delapan tahun lalu itu terbuka. Mentari pagi tersenyum padaku. Sinarnya terasa lebih berharga dari hari-hari biasanya. Aku menghirup udara dalam-dalam. Meskipun udara yang kuhirup sama setiap hari,udara di luar bui terasa menghangatkan jiwaku yang beku.

”Selamat jalan, Bung. Jalani hidupmu dengan lebih baik,”ucap salah seorang sipir.

”Dan ingat, jangan pernah kembali kesini,” tambah temannya.

”Memangnya siapa yang mau kembali,” kataku....dalam hati. Hanya keledailah yang jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Tapi sekarang banyak orang yang lebih bodoh dari keledai.

Dua orang sipir itu masuk dan gerbang besar itu tertutup kembali. Aku melepaskan pandanganku ke segala penjuru. Tak ada seorangpun yang datang untuk menjemputku. Hanya pepohonan yang melambai-lambaikan daunnya menyambut kebebasanku. Aku melangkah membawa satu tujuan, mencari kedua orang tuaku dan menebus segala kesalahanku.

Kenangan kelam itu kembali terbayang di pelupuk mataku. Dulu keluargaku adalah keluarga yang cukup mapan dari segi ekonomi. Aku anak tertua dari dua bersaudara. Keluargaku termasuk keluarga yang taat beragama. Kehidupan pribadiku berubah saat kakiku menginjak dunia kampus. Pergaulanku dengan hamba-hamba syetan membuatku jauh dari pencipta alam semesta. Aku mulai lupa kehidupan beragama. Narkoba dan miras mulai meracuni tubuhku namun aku tidak menyadarinya. Kebiasaanku itu mulai merongrong ekonomi keluargaku. Aku seperti orang gila (crazy,red). Aku tidak lagi mendengar (bukannya tuli,red) nasehat-nasehat kedua orang tuaku. Keadaan makin parah saat adikku jatuh sakit. Keuangan kami tidak memungkinkan mengobati penyakitnya. Akhirnya adikku kembali kepangkuan-Nya. Anehnya, aku tidak bisa mengalirkan air mata saat pemakamannya. Penguburan adikku bersamaan dengan penguburanku dalam pandangan orang tuaku. Mereka tidak lagi menghiraukanku. Hidupku kacau balau.

Puncaknya saat aku tertangkap polisi karena pencurian dua buah permen. Tak ada seorangpun yang membelaku. Aku pasrah menerima hukuman dari negeriku yang (katanya, red) gemah ripah loh jenawi toto tentrem kerto raharjo. Aku menjalani rehabilitasi di balik terali besi. Beberapa tahun kemudian, aku mulai kembali ke dunia nyata, di mana segalanya tidak semudah membalikkan telapak meja. Aku juga mulai mengingat akan Tuhan penciptaku. Terciptalah sebuah puisi.





PURNAMA BERMAHKOTA PELANGI



Bangkai busuk kuanggap kencana surga
Kilaunya sangat mempesona
Namun membutakan mataku
Baunya harum semerbak kesturi
Namun menusuk tajam sukmaku
Suaranya merdu mendayu
Namun membuatku tuli



Aku mengejar kencana semu

Dan melupakan permata abadi
Aku merobohkan tiang langit
Dan menggali jurang kegelapan
Aku pilih jalan lurus tanpa halangan
Dan meninggalkan titian berliku yang sejati



Sayapku hanya selebar jengkal

Namun bayangnya menutup tujuh lautan
Samudera telah kureguk
Namun dahaga tak pernah berakhir



Aku terbangun di saat senja dan bertanya

Apakah embun akan hadir
Menyelimuti dedaunan yang layu?
Apakah hujan akan turun
Menyirami gurun pasir yang gersang?
Apakah cahaya akan bersinar
Menembus kaca yang berkarat?
Apakah ini bukan rembulan bermahkota pelangi?



Dan jawabannya akan kucari. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari (majas klimaks, red) aku selalu memohon ampunan atas segala dosa yang telah aku lakukan. Namun hatiku kaku saat teringat akan kedua orang tuaku. Aku telah durhaka kepada mereka. Air mataku mengalir saat mengingat keduanya. Aku mengetahui bahwa ridho Alloh bergantung pada ridho orang tua. Ibadahku sebanyak apapun tidak akan berguna jika aku durhaka. Sejak saat itu, aku terus berdoa agar aku bisa menebus segala dosaku pada mereka.

Waktu terus berjalan menuju hari kiamat. Umurku pun semakin menipis. Sebuah suara klakson membuyarkan lamunanku. Suara itu berdenging di telingaku seperti suara pak sipir yang menghardikku. Ternyata aku telah sampai di tepi sebuah jalan raya. Aku memperhatikan lalu lintas yang semakin ramai sambil menutup hidungku. Asap busuk kendaraan telah menodai kotaku ini.

Wajah kota ini sudah berubah sejak aku tinggalkan. Para gedung sudah tumbuh (majas personifikasi, red) semakin tinggi menjulang (pasti, red) ke atas (majas pleonasme, red). Mereka seakan ingin menggapai langit biru namun aku yakin mereka akan hancur lebur (bukan karena bom, red). Yang kupikirkan bukanlah gedung-gedung yang sekarat itu melainkan sebuah rumah di mana kenangan masa kecilku tersimpan. Aku mulai mengingat letak rumahku. Aku pun melangkahkan kakiku tanpa ragu. Aku memperhatikan orang-orang yang kutemui. Aku bersyukur karena keadaanku masih lebih baik dibandingkan mereka (gepeng, red).

Matahari mulai meninggi saat aku tiba di depan pagar sebuah rumah. Rumah itu sangat berbeda dengan rumah yang aku kenali dulu. Tiba-tiba muncul seseorang dari dalam rumah itu. Aku mengenali orang itu. Beliau adalah Pak Hadi, tetangga kami dulu. Beliau tidak mengenaliku. Dari beliau aku tahu semuanya. Rumahku digadaikan karena masalahku dan orang tuaku pergi entah kemana. Aku pamit dan melanjutkan perjalananku. Kali ini langkahku tak tentu arah. Aku tak tahu keberadaan mereka. Saat mendengar suara azan hatiku kembali tentram. Aku pun melangkah ke sebuah mesjid dan mengikuti shalat Jum’at.

______________



Setelah melepas lelah aku melanjutkan perjalananku. Akhirnya aku tiba di sebuah pemukiman kumuh. Ada kekuatan yang menuntunku ke sana. Saat itu sedang terjadi keributan. Aku menerobos kerumunan orang untuk melihat apa yang terjadi. Aku tersentak saat melihat dua orang yang tak berdaya di tengah kerumunan tersebut. Mereka adalah kedua orang tuaku. Aku tidak mungkin melupakan wajah-wajah yang selalu menyayangiku sejak kecil. Mereka sedang diintimidasi empat orang preman. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung melindungi keduanya yang sudah semakin tua. Keempat preman itu bergerak mengelilingiku. Mereka membentak dan melemparkan kata-kata purba (kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh manusia modern, red) kepadaku. Akhirnya perkelahian pun tak terhindarkan. Dulu aku adalah pengecut nomor satu di dunia namun kehidupan di dalam sel telah mengajarkan apa arti dari berjuang untuk hidup. Aku bisa mengatasi mereka.merasa terdesak, salah seorang preman mengeluarkan pisau lipatnya dan menyarangkannya ke dalam perutku yang saat itu sedang melakukan konser sumbang (kelaparan, red).

Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Polisi telah datang namun aku telah terkapar. Mereka mengejar empat orang preman itu. Kedua orang tuaku mendekat kearahku.

” Mengapa kau lakukan ini anak muda?” tanya pria tua itu.

” Karena aku adalah anak kalian,” jawabku.

Mereka tertegun. Aku meminta maaf pada mereka atas segala dosaku namun mereka tidak menjawabnya. Aku pasrah. Yang ingin kuucapkan sekarang adalah dua kalimat syahadat namun aku tak kuasa melakukannya. Saat itu muncullah teman SMAku yang bekerja di sebuah penerbitan. Dia meminta maaf karena tidak menjemputku. Dia juga mengabarkan bahwa cerita-cerita yang kutulis di dalam sel dan kukirimkan padanya akan diterbitkan menjadi sebuah buku. Aku bahagia mendengar kabar itu dan berpesan padanya untuk menjaga kedua orang tuaku. Akhirnya kedua orang tuaku memaafkanku dan aku bisa bertemu dengan khusnul khotimah atau dengan kata lain cerita ini happy ending (salah bung, ini tragedi, red).

Image Taken from this Site

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...