Saturday, February 2, 2013

RTH Dan Bisnis


Lahan RTH yang Terjajah Bisnis


Semua orang, setiap manusia dewasa pasti mengetahui jika setiap tahun, pertumbuhan populasi manusia semakin bertambah. Itu adalah salah satu ciri alamiah makhluk hidup dan tidak bisa dihindari. Hal ini tentu saja dibarengi dengan perkembangan pemukiman yang menjadi kebutuhan manusia tersebut. Semua fasilitas dan sarana pendukungnya juga berkembang, seperti jalan, bangunan perumahan [tempat tinggal], bangunan perkantoran [tempat kerja], bangunan industri [tempat produksi], bangunan perdagangan [tempat bisnis], pergudangan [tempat penyimpanan], dan bangunan umum seperti pemerintahan, sekolah, dan rumah sakit. Sayangnya, fasilitas RTH tidak bisa berkembang sepesat fasilitas lainnya padahal kebutuhan akan oksigen juga semakin meningkat. Kepentingan fasilitas RTH ini terpingggirkan oleh bisnis yang semata-mata hanya berorientasi pada uang.
Kasus yang mencuat akhir-akhir ini adalah kasus RTH Kamboja di Kota Banjarmasin, Kota yang pernah berjuluk Kota Seribu Sungai. Pada awalnya, lahan seluas 4,2 hektar ini adalah lokasi pemakaman. Setelah makamnya dipindahkan, lahan Kamboja ini direncanakan menjadi RTH Kota Banjarmasin. Ternyata pada kenyataannya, Pemerintah Kota memiliki kehendak dan maksud lain. Mereka mendiskon lahan itu hingga 50%. Separuh lahan akan dijadikan fasilitas bisnis, bisa berupa ruko, pusat perdagangan maupun mall. Dengan alasan dana yang terbatas, Pemerintah Kota mengajak pihak ketiga untuk membangun RTH ini. Jika wacana ini menjadi kenyataan, maka warga Banjarmasin akan kehilangan Aset berharga mereka seluas 2 hektar.
RTH atau ruang terbuka hijau adalah area yang penggunaannya bersifat terbuka, tempat di mana tanaman tumbuh secara alami maupun ditanam dengan sengaja. Kebanyakan ditanam dengan sengaja karena tanaman yang bersifat liar bisa membahayakan penggunanya. RTH bisa menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air. Hal ini karena lahan RTH tidak diperkeras sepenuhnya, melainkan hanya sebagian kecil saja. RTH juga menjaga balance atau keseimbangan antara lingkungan alam dengan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
Ditengah semaraknya polusi udara dari kendaraan bermotor yang jumlahnya semakin meningkat tak terkendali, di saat terik mentari yang panas membakar tak kenal ampun, di kala program pemanasan global tidak bisa terkontrol lagi, keberadaan RTH sangat dibutuhkan. Hal ini dikarenakan kemampuan RTH sebagai pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar. RTH bisa juga berfungsi sebagai peneduh dan produsen Oksigen gratis yang merupakan kebutuhan primer manusia untuk hidup. Apakah manusia harus merasakan mahalnya membeli oksigen agar manusia mengerti arti pentingnya RTH?
Ditengah kemajuan dan perkembangan jaman yang menciptakan manusia egois, individualis, konsumeris dan materialistis serta hedonis, keberadaan RTH bisa berperan penting karena RTH memiliki fungsi tambahan. RTH bisa menjadi medan silaturahmi warga kota, ajang hiburan dan rekreasi keluarga yang murah meriah [tidak gratis kerana biasanya ada ongkos parkir], objek sekaligus wadah edukasi, riset dan pelatihan dalam mempelajari alam. Misalnya, setiap pohon dan tanaman diberikan papan nama yang memuat nama lokal dan nama ilmiahnya. Kalau perlu ditambahkan kegunaan dan manfaat masing-masing tanaman. Keberadaan RTH juga diharapkan mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota.
Di tengah padatnya hutan beton, gedung-gedung yang saling berdesakan, ditengah gemuruh kebisingan armada bermotor, keberadaan RTH bisa menjadi pilihan bijak karena RTH adalah pembentuk faktor keindahan arsitektural. RTH bisa meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota, menyediakan habitat satwa serta menciptakan suasana serasi antara area terbagun dan tidak terbangun. RTH diharapkan bisa mengembalikan kicauan burung yang saling bersahutan satu sama lain sehingga bisa mengeliminir hingar-bingarnya kuda besi yang dipacu sepanjang hari. Selain burung-burung yang bermanuver di antara pepohonan, serangga seperti kupu-kupu juga diharapkan bisa hadir dengan adanya RTH. Pada malam hari, kunang-kunang adalah serangga yang diharapkan meramaikan suasana RTH.
Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan keharusan keberadaan RTH. Pengembangan RTH perkotaan juga diatur dalam Permen Dagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang penataan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan. Teknis penyediaannya diatur dalam Permen PU Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Kota. Berdasarkan tiga landasan hukum yang telah beredar itu, kalangan pemerintah di “atas” sana pasti mengetahui jika luas RTH sebuah kota minimal mencapai nilai 30% dari luas keseluruhan kota. Dari syarat 30% tersebut, porsi RTH publik sendiri ditetapkan sebesar 20 persen, sedangkan 10 persen sisanya adalah RTH privat yang dimiliki oleh perseorangan. Dikutip dari Naz Journal November 2011
Dari hasil survei tahun 2007 dengan menggunakan perhitungan Sistem Informasi Geografis  atau Geographic Information System (GIS), diketahui bahwa luas RTH publik di Kota Banjarmasin hanya 727,73 hektare atau 10,11 persen. Namun, kini luasnya diklaim telah bertambah menjadi 17 persen.
Dari situasi yang berkembang saat ini, untuk memenuhi sisa kebutuhan 3% saja pemerintah kota terkesan ngos-ngosan. Jadi, kita mungkin hanya bisa bermimpi jika RTH publik di Kota Banjarmasin bisa lebih dari 20%. Namun kita patut bersyukur jika nilai 20% ini berhasil dipenuhi oleh Pemerintah Kota.
Pembangunan RTH harus diperjuangkan. Keterbatasan dana bisa diatasi dengan pembangunan bertahap. Kawasan RTH tidak boleh disunat apalagi dikebiri. Pengalihfungsian lahan ini pada awalnya bertentangan dengan RTRW (rencana tata ruang wilayah), namun karena kekuatan adidaya bisnis, luas RTH dalam RTRW bisa disesuaikan sesuai dengan rencana Oknum Pemerintah Kota menjadi seluas hanya 2 hektar. Rencana RTH tidak boleh ditumpulkan dengan alasan apapun. RTH kota yang ideal tersebar secara merata mulai dari lingkungan RT, lingkungan RW, Lingkungan Kelurahan, Lingkungan Kecamatan sampai Lingkungan Kota. Jangan sampai RTH ini menjadi makhluk langka di masa depan. RTH jangan sampai hanya menjadi dongeng pengantar tidur bagi generasi millenium berikutnya. Sambil menunggu pemerintah memenuhi syarat RTH publik, kita juga harus berupaya untuk memenuhi nilai 10% untuk RTH privat. Semua hal itu berangkat dari diri sendiri. Kita harus memulainya dari diri kita sendiri. Jika bukan kita yang memulai, maka siapa lagi yang akan memulainya?
Sebagai penutup dari tulisan yang amat singkat ini, ada sebuah pepatah kuno yang patut direnungkan oleh kita semua. Sebenarnya tidak terlalu kuno juga sih kerana dari bunyinya, orang yang membuatnya berada pada peradaban modern. Tidak diketahui dengan pasti siapa yang membuatnya, yang disebutkan hanyalah “kepala suku Indian di suatu tempat di Amerika”. Singkatnya, pepatah itu berbunyi ”Saat pohon terakhir di bumi tidak lagi berbuah, saat sungai terakhir di bumi tidak lagi mengalir, maka manusia akan menyadari jika uang tidak bisa dimakan dan mengobati rasa dahaga”.
Credit to Original Creatore, Z


Sumber Gambar INI

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...