Tuesday, April 22, 2014

Dangerous Topic



POLY TRICK

Masalah politik saat ini benar benar hot. Setelah pemilihan caleg berakhir, maka wacana yang bergulir adalah pemilihan presiden. Tokoh-tokoh yang awalnya optimis menjadi calon presiden, kini mulai melihat kenyataan kerana suara dari partai mereka tidak cukup untuk mengusung mereka sebagai presiden.


Sebelum membahas kebingungan yang melanda parpol dalam mencara kawan koalisi, penulis akan berbalik sejenak pada waktu dimana pemilihan caleg akan digelar. Pada saat itu, yang digadang-gadang adalah katakan NO atau “TIDAK” pada politik uang. Pada kenyataannya, bukan hanya politik uang yang berbicara melainkan juga politik sembako. Dalam satu bungkus sembako ada beras, minyak goreng, gula, mie instant dan tentu saja nama caleg yang membagikannya. Selain sembako, ada juga caleg yang membagikan sarung pada warganya agar kelak warga yang menerima sarung itu memilihnya. Dari beberapa sumber, ada satu wilayah yang terkenal kerana kemakmuran para calegnya hingga satu keluarga bisa mendapatkan 10 bungkus sembako dari 10 caleg yang bertarung dalam pemilihan caleg. Selain bersaing dengan caleg partai lain, para caleg juga harus bersaing dengan caleg dalam satu partai untuk mengambil hati rakyat. Jika mereka berhasil mendapatkan hati rakyat, maka suara rakyat itu akan menjadi milik mereka.

Ternyata slogan no money politic itu sulit direalisasikan dalam realita/kenyataan. Hal itu tentu membawa imbas pada caleg itu sendiri. Mereka akan memerlukan dana yang pastinya tidak kecil untuk mendanai kampanye mereka, baik kampanye normal maupun kampanye tidak normal/ terselubung seperti money politic. Dana yang mereka dapatkan ternyata bukan dana abadi mereka, melainkan dana yang didapat dari berhutang dan pinjaman. Hal ini mulai terlihat setelah pemilihan caleg berakhir. Beberapa (mungkin hamper semua) caleg mulai mengalami gangguan mental saat mengetahui suara yang mereka harapkan tidak mencapai target. Mereka mulai melakukan tindakan-tindakan yang tercela seperti meminta kembali uang politik yang sudah mereka bagikan. Ada juga yang meminta agar kompor gas yang telah dibagi dikembalikan. Ada yang memblokir jalan utama suatu wilayah kerana anaknya tidak lolos dalam pemilihan. Ada juga yang mendatangi ahli jiwa untuk mendamaikan jiwanya yang sedang galau.

Melihat kasus pasca pemilihan yang semacam itu, ada baiknya jika pada masa mendatang, para caleg menjalani tes kejiwaan sebelum mencalonkan dirinya sebagai caleg. Hmm tunggu, apa sudah ada tes semacam itu? Jika sudah ada, maka penulislah yang ketinggalan berita. Dengan adanya tes kejiwaan tersebut, maka mentalitas para caleg bisa diketahui. Berapa besarnya kemungkinan dia menjadi gila jika tidak terpilih dapat diketahui. Berapa besarnya kemungkinan dia berbuat gila jika tidak terpilih juga bisa diketahui. Selain caleg, keluarganya juga perlu mendapatkan tes kejiwaan. Siapa sangka jika caleg tidak terpilih bisa mengendalikan dirinya namun keluarganya yang telah mencarikan dana malah berbuat onar dan anarkis.

Dana yang akan digunakan untuk kampanye juga harus diperiksa. Jika dana yang digunakan itu bukan berasal dari kantong pribadi, sebaiknya caleg tersebut dibatalkan kerana hanya akan menambah penderitaan pasca pemilihan jika mereka tidak terpilih. Kita harus bersyukur kerana mereka, para caleg itu, berjuang untuk kita semua. Mereka sangat mencintai kita dan berusaha mati-matian agar bisa membawa aspirasi kita ke permukaan. Mereka rela hutang kesana-kemari demi aspirasi kita. Mereka bahkan bisa menjadi gila jika tidak terpilih menjadi caleg. Semua itu mereka lakukan demi kita.

Harapan masyarakat dari caleg yang terpilih tentu saja tidak sedikit. Bagi para caleg yang terpilih hendaknya masih ingat dengan janji-janji yang mereka ucapkan. Jangan berpura-pura lupa kerana itu akan menjadikan mereka benar-benar mengalami lupa ingatan. Mereka harus berupaya sebaik mungkin, semaksimal mungkin untuk membawa aspirasi masyarakat agar didengar dan bisa direalisasikan di dunia nyata. Mereka juga harus menyadari jika beban yang ada dipundak mereka tidak lagi ringan. Mereka mengemban amanat dari rakyat. Dosa yang akan mereka tanggung jika berkhianat bukan lagi dosa yang mudah dimaafkan. Mereka harus meminta maaf pada seluruh masyarakat sebelum mendapat pengampunan dari Tuhan.

Yang paling penting, para caleg tidak boleh lagi memikirkan keuntungan pribadi mereka sebagai anggota dewan. Kebanyakan yang sudah terpilih akan lupa pada janjinya dan hanya memikirkan cara mengembalikan modal yang telah mereka gunakan untuk kampanye. Setelah modal kembali, mereka bukannya memikirkan rakyat, mereka malah memperkaya diri sendiri dan kroni serta dinastinya. Itulah yang  paling tidak diharapkan. Anggota dewan yang terhormat juga harus bisa menjaga wibawa, tidak boleh bolos saat rapat anggota diadakan. Jika menghadiri rapat juga tidak boleh tertidur apalagi bermain dengan smartphone yang semakin hari semakin canggih. Mereka harus disipilin dan menghargai waktu. Masa jabatan mereka yang hanya lima tahun itu harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mampu membawa perubahan yang bisa dirasakan masyarakat. Jika semua itu bisa terlaksana, maka kebaikan yang telah mereka lakukan itu akan terus mnegalir hingga akhir masa. Kebaikan itu akan terus dikenang hingga anak cucunya.

Kembali ke topik semula, kebingungan parpol mencari koalisi untuk mengusung calon presidennya. Beberapa tokoh menjadi korban atau bisa disebut sebagai tumbal untuk mendongkrak perolehan suara partai. Tragis sekali tragedy ini. Tokoh yang dikorbankan ini umumnya dijanjikan untuk menjadi calon presiden namun kerana perolehan suara partai tidak mencukupi, mereka harus mundur sebagai calon presiden dan harus puas sebagai calon wakil presiden. Sebagai calon presiden, mereka masih harus bersaing dan tentu saja, calon presidenlah yang akan memilih sendiri wakilnya.

Calon presiden mendatang haruslah orang yang bersih, saat ini maupun pada masa lalu. Dan yang lebih penting, bisa menjaga track recordnya dari awal hingga akhir. Capres yang memiliki modal kejujuran dan juga integritas, yaitu perkataannya sesuai dengan perbuatannya. Capres yang bisa merakyat dan mampu blusukan tanpa kawalan media. Itulah karakter capres yang dicari. Capres yang bisa tegas dengan politik luar negeri, tidak mudah mengikuti arus, memiliki pendirian sesuai Pancasila dan UUD 1945. Tegas juga dalam  penegakan hukum kerana ketegasan itu diperlukan untuk menjamin keamanan  dan ketentraman Negara. Kasus yang sedang marak adalah korupsi, baik perseorangan maupun secara berjamaah. Capres yang diharapkan adalah yang bisa memberantas korupsi hingga ke akarnya.

Capres yang tidak mengandalkan popularitas kerana hal itu hanya sementera dan angin-anginan. Capres juga bukanlah “boneka” yang tidak memiliki pendirian sendiri. Capres yang diharapkan tentu yang bisa menjadi sosok teladan bagi masyarakat, bukan sosok yang dimusuhi dan dijauhi. Jika sudah menjadi teladan, maka rakyat akan lebih mudah dibimbing. Apa semua kriteria itu terlalu banyak? Mungkin juga. Hal itu harus dipatok tinggi karena memimpin Negara pasti lebih berat dari memimpin sebuah desa. Jika berpegang pada pola” tidak ada manusia yang sempurna” itu hanyalah sebuah excuse kolot dan tidak berujung. Hari ini harus lebih baik dari kemaren dan besok harus lebih baik dari hari ini. Itu adalah rumus yang harus diterapkan untuk memilih pemimpin.




Sumber gambar
Mechadot, Tuesday, 22 April 2014. 12.02 AM

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...