Tuesday, June 24, 2014

Indahnya Kepalsuan

TOPENG KEPALSUAN IMITASI

Masyarakat bangsa ini ternyata menyukai hal-hal yang indah dan menyenangkan meskipun itu palsu belaka. Salah satu contohnya adalah nilai raport. Para orang tua murid lebih menyukai nilai hitam dari pada nilai merah [istilah nilai dibawah 5] yang menghiasi raport anak mereka.  Nilai berlekuk indah [8,9] lebih diharapkan muncul dari pada nilai berlekuk seronok [5,6]. Padahal, sebagian dari mereka mengetahui jika nilai di dalam raport itu telah ”diangkat” dari keterpurukan yang dalam. Nilai dalam raport itu telah diolah sedemikian rupa dalam kawah candradimuka agar tidak mengecewakan berbagai pihak yang terlibat. Nilai telah direkayasa dengan berbagai rumus, bahkan mungkin ada yang menggunakan rumus 90% tugas harian + 10% nilai ujian untuk menghasilkan nilai raport. Perlu pembenahan sistem pendidikan secara menyeluruh agar segala macam upaya rekayasa semacam itu tidak lagi diperlukan. Sistem memerlukan capaian yang menggembirakan padahal cara kerjanya tidak optimal.

Kasihan sekali anak-anak itu. Mereka bergemira ria dan berbangga hati dengan nilai hasil rekayasa itu. Iba juga perlu diberikan pada guru-guru yang menanggung beban moral dan jiwa kerana mendongkrak nilai muridnya agar bisa masuk standar KKM. Jika nilai murni yang ditampilkan, mereka akan dicap sebagai guru yang tidak becus dalam mengajar. Nama Sekolah juga dipertaruhkan jika mayoritas muridnya memperoleh nilai yang buruk. Mau tidak mau, nilai asli begitu dirahasiakan agar tidak mempermalukan berbagai pihak yang terkait. Kejujuran itu begitu penting hingga digembar-gemborkan selalu. Namun mengapa nilai yang asli tidak pernah ditampilkan? Apakah slogan ”kebenaran harus disampaikan meskipun itu pahit” hanya menjadi slogan di atas spanduk?

Rekayasa nilai ini begitu berpengaruh pada anak. Di sisi lain, mereka bisa lebih percaya diri dengan kemampuan mereka. Namun efek buruknya, bisa saja mereka menjadi meremehkan mata pelajaran tertentu kerana mereka merasa nilai mereka sudah tinggi padahal nilai asli mereka tidak setinggi itu, bahkan mungkin tidak mencapai standar. Hanya murid yang tahu tingkat kemampuannya yang tidak bergembira dengan nilai raportnya.
Kemampuan mereka akan benar-benar diuji dalam ujian masuk universitas kerana universitas ternama tidak akan sembarangan dalam menerima calon mahasiswanya. Meskipun begitu, ada universitas yang bisa dikatakan sebagai universitas yang mata duitan. Nilai tes hanya menjadi formalitas belaka dan menjadi urutan terbuncit. Yang terpenting bagi mereka adalah isi kantong dari orang tua calon mahasiswa. Jika ada dana abadi minimal Rp. 100.000.000,- [Seratus juta rupiah], maka calon itu bisa masuk jurusan apapun yang dia inginkan. Gelar kesarjanaan juga bisa dikeluarkan kapanpun dia inginkan. Artinya, para oknum ini lebih suka menggunakan ijazah yang aspal, asli tapi palsu. Asli ijasahnya namun palsu nilainya. Jadi, mereka lebih suka mencari pekerjaan dengan ijasah imitasi itu. Jika mereka berhasil mendapat pekerjaan dengan ijasah palsu itu, maka kejamnya dunia kerja akan mereka rasakan. Ada juga yang perlu ijasah hanya sekadar formalitas. Contoh, kompetensinya sudah setingkat stara satu namun kerana ijasah aslinya hanya setingkat SMA, upah yang dia terima dengan bekerja setara strata satu hanya setingkat SMA. Dia jadi diremehkan kerana hanya lulusan SMA meskipun kompetensi yang dia miliki setingkat strata satu. Ironis sekali.

Untuk para guru yang benar-benar menjadi ”guru” mungkin anda melihat hal ini dari sudut pandang lain dan memiliki pemikiran sendiri mengapa hal ini bisa terjadi. Jadi, jika sudut pandang yang disampaikan ini memerlukan koreksi, silahkan disampaikan. Semua koreksi akan diterima dengan senang hati. Ada guru yang curhat nih

Contoh lain adalah kalangan metropolis wannabe yang selalu membeli tas yang terlihat bermerk dan berharga puluhan juta meskipun secara pribadi mereka mengetahui harga ”hermes” obralan itu tidak lebih dari Rp. 100.000,-. Mengapa mereka tidak bisa jujur dengan harga tas mereka? Jika memang hanya mampu membeli dengan harga murah, mengapa harus membeli tas yang terlihat berharga mahal hanya demi gengsi belaka?

Ada juga yang membeli jam tangan seharga Rp. 50.000,- namun mirip dengan jam tangan yang berharga 5 Milyar. Dia membuat pencitraan seolah-olah harga jam tangannya setara dengan proyek pembangunan gedung serbaguna berkapasitas 1.000 orang. Apa coba maksudnya? Mengapa harus membeli jam yang terlihat mahal dan tak terjangkau? Fungsinya sama saja, menunjukkan waktu. Kecuali ada fungsi khusus seperti bisa mengembalikan penggunanya ke masa lalu. Mungkin jam semacam itu akan diburu.

Ada juga yang membeli hape/ponsel dengan predikat super-copy, king-copy maupun ultra-copy. Tentu saja hal ini demi keamanan gengsi mereka meskipun dibatasi oleh isi dompet. Mereka harus memiliki jenis ponsel yang terlihat bergengsi agar bisa bergaul dengan kalangan elit. Itulah sebabnya mereka harus rela berkorban untuk membeli barang ”bajakan” kerana terbatasnya isi dompet. Mereka lebih memilih ponsel imitasi yang tidak berkualitas dari pada ponsel asli dengan harga yang sama. Semua itu demi gengsi dan harga diri yang begitu tinggi.

Sebagian oknum Generasi muda juga lebih senang hidup dalam dunia khayalan yang palsu. Dunia khayalan itu begitu indah sehingga membuat mereka enggan meninggalkan narkoba, narkotika dan sejenisnya. Dunia nyata yang menurut mereka begitu kejam harus ditinggalkan dengan cara ”fly” ke dunia fantasi yang palsu dan imitasi. Ritual ”fly” ini memberikan mereka rasa bebas yang membebaskan mereka dari kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi, meskipun hanya sementara. Kebebasan ini akan terus berlanjut saat mereka ”berpindah” dunia, dari ”dunia atas” ke ”dunia bawah”.

Ada juga kepalsuan kerana menggunakan hak tinggi. Tinggi tubuh dan elegansi itu menjadi begitu imitasi saat mereka melepaskan high heels yang mereka gunakan. Mereka tahu jika sepatu semacam itu membawa dampak buruk bagi kesehatan namun demi penampilan yang prima, hal penting semcam itu diacuhkan.

Tindakan yang bisa dikatakan pemalsuan adalah operasi plastik. Orang-orang semacam ini tidak bersyukur dengan bentuk muka/tubuhnya. Jadi, mereka menambahkan sejumlah plastik di ujung hidungnya agar terlihat lebih mancung. Ada juga yang terobsesi sehingga melakukan beberapa kali operasi agar terlihat seperti superman atau boneka barbie.

Jenis kepalsuan yang amat sangat berbahaya adalah kesaksian palsu. Kepalsuan ini begitu berbahaya hingga bisa mengancam nyawa korbannya. Kepalsuan semcam ini harus dihindari namun kerana keadaan dan situasi tertentu, kepalsuan semcam ini terlahir di dunia dan mengacaukan tatanan kebenaran yang memang sudah mulai goyah.

Jenis kepalsuan yang terakhir dan sangat berbahaya adalah kepalsuan kitab suci. Ada beberapa oknum atau organisasi yang melakukan pemalsuan isi kitab suci. Semua isinya diubah agar sesuai dengan selera mereka. Isi kitab suci disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga kemurnian kitab suci berakhir dengan tragis. Kitab suci yang murni tidak akan pernah berubah dari awal munculnya hingga akhir dunia. Kitab murni semacam inilah yang bisa menjadikan manusia kembali ke jalan yang benar. Suatu ajaran tidak bisa dilihat dari perilaku penganutnya, melainkan dengan menelaah isi kitab sucinya. Penganut suatu ajaran bisa saja melakukan pencitraan, baik itu buruk/baik. Pencutraan itu bisa saja tidak sesuai dengan isi kitab suci yang sebenarnya.

Sepertinya ada kepalsuan lain yang belum terungkap di sini. Berhubung waktu yang tersedia menipis, maka tulisan ini akan diakhiri. Kepalsuan, sehebat apapun, seindah apapun, tetaplah sebuah kepalsuan, sesuatu yang tidak asli alias imitasi.

Sumber Gambar01
Sumber Gambar02
Zet.@ 24 Juni 2014, Satu jam sebelum Time Out on office

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...